• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 18 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Milenial Gaya Hidup

Angklung: Warisan Budaya Sunda

Zulfa Ruwaidah by Zulfa Ruwaidah
6 Desember 2021
in Gaya Hidup
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dari masyarakat Sunda. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Selain sebagai alat musik, angklung juga mewakili sebuah seni pertunjukan tradisional Sunda. Seni pertunjukan yang menggunakan alat musik angklung untuk menyajikan tembang-tembang tradisional.

Ada juga beberapa instrumen lain, termasuk metalofon, gambang, gendang dan gong. Perihal namanya, istilah “Angklung” berasal dari angkleung-angkleung yakni istilah Sunda untuk mendefinisikan suara “klung” dari alat musik ini oleh para pemain yang memainkan sambil bergerak seperti mengalun. Sementara itu, secara etimologis “Angklung” berasal dari gabungan kata “angka” berarti nada, dan “lung” yang berarti pecah.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering berwarna kuning keputihan. Tiap nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah tiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Di antara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa kerajaan Sunda adalah sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.

Sejarah Perkembangan Angklung

Orang-orang Baduy, yang merupakan sisa-sisa Suku Sunda asli, menerapkan alat musik bambu sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Selanjutnya, permainan alat musik bambu dengan membawakan lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri juga melibatkan pengiring tabuh.

Pengiring tersebut terbuat dari batang-batang bambu berbentuk sederhana. Lalu, lahirlah struktur musik bambu yang di kemudian hari bernama Angklung. Dalam ritual padi, pertunjukannya berupa arak-arakan, bahkan di beberapa tempat menjadi iring-iringan Rengkong, Dongdang, serta Jampana (usungan pangan).

Di Jasinga (Bogor), ada permainan Angklung Gubrag yang tetap lestari hingga saat ini. Kemunculan permainan tersebut bermula dari ritus padi yang ada sejak lebih dari 400 tahun yang lalu. Tujuannya adalah mengundang Dewi Sri agar turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada tanaman. Jenis yang tertua bernama Angklung Buhun yang hingga saat ini masih menyertai berbagai perayaan, termasuk Seren Taun. Di zaman Kerajaan Sunda (Pasundan), alat musik itu berfungsi untuk penggugah semangat dalam pertempuran. Bahkan fungsi ini masih terasa hingga pada masa penjajahan Belanda.

Pada masa itu, kolonial Belanda sempat melarang masyarakat Sunda menggunakannya, sehingga membuat popularitasnya menurun dan hanya menjadi permainan anak-anak saja. Namun, selanjutnya kesenian ini tetap hidup, berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908, ada sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, di antaranya di tandai penyerahan Angklung. Sejak itu, permainan musik ini menyebar di negara tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat dua tokoh yang berperan dalam pelestariannya, yakni Daeng Soetisna dan Udjo Ngalagena.

Jenis-Jenis Angklung

Angklung Kanekes, angklung di daerah Kanekes (sering disebut orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang.

Angklung Reyog, angklung Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi Tarian Reyog Ponorogo di Jawa Timur. angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti angklung umumnya yang berbentuk kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah.

Angklung Banyuwangi, salah satu kesenian khas Banyuwangi di Jawa Timur dengan beberapa jenis pertunjukan. Ada pertunjukan Angklung Caruk yang mempertemukan dua kelompok untuk bersaing dalam memainkan alat musik ini..

Angklung Buncis, Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan.

Angklung Gubrag, terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng, badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi.

Angklung Padaeng, adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.

Angklung Sarinande, adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).

Angklung Toel, alat ini ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.

Angklung Sri-Murni, angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal).

 

Teknik Permainan Angklung

Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:

  • Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, di mana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
  • Centok (sentak), adalah teknik di mana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
  • Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarkan nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Tags: Angklung Warisan Budaya Sundagaya hidupzulfa ruwaidah
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pakai Tangan Kiri Itu Tidak Selalu Buruk

Next Post

Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

Zulfa Ruwaidah

Zulfa Ruwaidah

Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tinggal di Desa Telukjambe, Kecamatan Telukjambe Timur, Karawang. Ia dapat dihubungi melalui ig: zulfaaruwaidah.

Artikel Terkait

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual
Milenial

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

8 Mei 2023

Peringatan: tulisan ini mengandung konten sensitif yang barangkali dapat mengganggu dan memicu trauma Anda. _ Pada tahun 2022 kemarin, Netflix...

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon
Gaya Hidup

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon

30 April 2023

Pernahkah kita terbesit secara sadar kalau udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan itu berasal...

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!
Gaya Hidup

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022

Perdebatan tentang jumlah rakaat tarawih yang mewarnai jagat maya tampaknya tak berlaku di Masjid Al-Hikmah Kampung Islam Lebah, Klungkung. Pasalnya...

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”
Gaya Hidup

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”

27 Maret 2022

Pada Desember 2021 lalu, Netflix merilis film Don’t Look Up. Sebuah film fiksi ilmiah yang berbumbu komedi. Beberapa nama yang...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Jempolmu, Harimaumu

Jempolmu, Harimaumu

2 November 2020
Pakai Tangan Kiri Itu Tidak Selalu Buruk

Pakai Tangan Kiri Itu Tidak Selalu Buruk

6 Desember 2021
Gambar Artikel Hiruk-Pikuk Pandemi dalam Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Hiruk-Pikuk Pandemi dalam Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

14 Desember 2020
Jam Operasional Korona

Jam Operasional Korona

5 Februari 2021
Novelet Nirmakna & Pandemicthink

Novelet Nirmakna & Pandemicthink

25 Juli 2021
Perubahan Budaya Organisasi di Masa Pandemi

Perubahan Budaya Organisasi di Masa Pandemi

26 Desember 2021
Pekerja Malam

Pekerja Malam

28 April 2021
Malam Kutukan

Malam Kutukan

28 Februari 2021
Gambar Artikel Wahdatul Wujud: Sebuah Dialog Singkat Islam-Kristen

Wahdatul Wujud: Sebuah Dialog Singkat Islam-Kristen

10 Januari 2021
Gambar Artikel Puisi Munajat dari Atas Kasur

Munajat dari Atas Kasur

9 Januari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.