• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 28 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Resensi

Depresi Besar, Kaum Pekerja, dan Hilangnya Harapan

Wasis Zagara by Wasis Zagara
30 April 2021
in Resensi
0
Depresi Besar, Kaum Pekerja, dan Hilangnya Harapan

https://www.google.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dalam salah satu bukunya, Ray Bradbury pernah menuliskan sebuah hikayat yang berbunyi seperti ini; “Hidup itu pendek, kesengsaraan itu pasti, ajal itu niscaya,” agaknya ungkapan itu tepat untuk menggambarkan keseluruhan isi cerita dalam novel besutan John Stainbeck ini. Novela berjudul Of Mice and Men yang kemudian dialih-bahasakan menjadi “Tikus dan Manusia” ini, menggambarkan kehidupan getir dan membosankan para pekerja peternakan.

Meskipun “Of Mice and Men” tergolong karya fiksi klasik—sebab pertama kali diterbitkan pada 1937, namun saya pikir buku ini masih sangat relevan untuk dibaca di era kekinian. Bahkan, mungkin sampai berpuluh-puluh tahun ke depan. Kepiawaian Stainbeck meramu cerita abadi inilah yang menjadikannya sebagai salah satu peraih hadiah nobel sastra pada tahun 1962.

Dari beberapa karyanya, terlihat betul bahwa Steinbeck gemar menyoroti perihal kesengsaraan hidup.  Kemuraman zaman, kegetiran, penderitaan dan semangat perjuangan, nampaknya menjadi tema-tema  sentral yang selalu ia minati. Kita semua tahu, bahwa persoalan-persoalan tersebut memang telah menjadi nadi kehidupan manusia. Hanya bentuknya saja yang berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, esensi dan intinya tetaplah sama. Sehingga, saya rasa, itulah yang membuat novel-novel Stainbeck bisa jauh menjangkau zaman setelahnya.

Tidak jauh berbeda, novel “Tikus dan Manusia” ini pun menyiratkan ragam aroma kegetiran. Pasalnya, George dan Lennie yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini ialah cerminan manusia yang tidak punya keluarga dan masa depan. Tidak ada keriangan menanti jam pulang kerja dan bertemu kembali dengan anak, istri, dan ibu mertua. Mereka ialah pekerja serabutan yang terdampak depresi hebat America. Jalan hidupnya hanya pindah dari peternakan satu ke peternakan lain guna untuk menyambung hidup dan mengisi perut.

 George yang digambarkan bertubuh kecil dan berwajah muram hanya punya sosok Lennie—seorang bertubuh bongsor, yang meski tidak jahat ia selalu melakukan kekeliruan demi kekeliruan dan masalah-masalah baru dalam kehidupan George. Lennie menjadi karakter dengan intelegensi yang sangat rendah, lugu, namun terkadang cenderung buas dan sulit dikendalikan. Sedangkan, George kebalikannya, ia cerdik, penuh perhitungan dan memiliki visi hidup yang tidak terlalu buruk.

Ada banyak makna yang disampaikan dalam buku ini, melalui penggambaran para pekerja peternakan, serta latar kejadian di tengah depresi hebat di Amerika,  John Stainbeck seperti ingin menyiratkan bahwa ada berbagai hal dalam hidup ini yang absurd dan sia-sia belaka. Salah satunya ialah bekerja tanpa mempunyai cita-cita dan tujuan yang jelas. Stainbeck menggambarkan kesia-siaan ini menyelimuti pikiran para pekerja peternakan yang termarginalkan. Atau, sebut saja peternakan itu sebuah miniatur perusahaan pada zaman ini.

Begitu sia-sianya sehingga manusia hanya difungsikan sebagai alat pencetak uang. Dan, uang itu kemudian dihabiskan hanya untuk alat pemuas nafsu hewani pada diri manusia. Ya, dalam novel itu digambarkan fungsi yang sama antara pekerja ternak dan hewan ternak itu sendiri– diprogram untuk sebuah tujuan komoditas (uang). Hanya saja kasta manusia dianggap sedikit lebih unggul dibanding hewan ternak, meski fungsinya “sama saja”.

            Suara George menjadi lebih dalam, ia menulangi kata-katanya dengan berirama, seolah ia sudah begitu sering mengucapkan kata-kata ini. “orang seperti kita, yang bekerja di peternakan, adalah orang-orang paling kesepian di dunia. Mereka tidak punya keluarga. Mereka tidak cocok di tempat mana pun. Mereka datang ke peternakan dan bekerja keras lalu pergi ke kota dan menghamburkan hasil kerja keras mereka, lalu setelahnya mereka banting tulang lagi di peternakan lain. Mereka tidak punya cita-cita”.

Dari dialog George dan Lennie yang tergambar di atas, maka terlihat jelas bahwa tidak ada yang lebih menyedihkan selain para pekerja yang tidak mempunyai harapan. Hidupnya diperbudak oleh “kandang.” Mungkin sekarang lebih dikenal dengan istilah “budak corporate”—semacam gaya hidup yang kurang manusiawi; bekerja, dapat uang, lalu menghabiskannya. Begitu seterusnya.

Istilah “budak corporat” serupa manusia yang kehilangan esensi kemanusiaannya. Lupa akan jati diri dan tak kuat memegang nilai, filosofi dan harapan hidup. Mungkin ini semacam novel yang sebenarnya ingin mengkritik perilaku kepegawaian yang monoton dan telah lupa kesejatian– bahwa pekerjaannya seharusnya tak melulu untuk uang dan uang. Karena jika demikian, maka manusia akan terlahir dan mati sebagai hewan ternak. Kritik John Steinbeck sangat halus disampaikan di novel ini.

Kendati demikian, di tengah kesia-siaannya, George sebenarnya mempunyai pemikiran yang lebih visioner dibandingkan pekerja peternak lainnya. Ia memberi harapan baru untuk dirinya dan Lennie, yakni membeli sepetak tanah, dan menjadi tuan atas dirinya sendiri.

            Suatu hari nanti, kita akan kumpulkan semua uang dan kita punya rumah kecil dan beberapa hektar tanah, sapi, dan babi. Dan, hidup dari tanah yang subur. Kita akan punya kebun sayur besar, kandang kelinci, dan ayam. Dan, saat hujan turun musim dingin, kita akan bilang persetan dengan kerja, dan kita akan buat api di perapian dan duduk di dekatnya dan mendengarkan hujan turun di atap—Gila!

            George merasa, ada hidup yang lebih manusiawi dari pada menjadi budak kandang dan kotoran yang menjijikan. Selain bermuatan kritik, novel dengan alur maju ini mempunyai daya tarik tersendiri, sebab tidak lupa mengangkat isu-isu yang tetap relevan sampai sekarang. Seperti rasisme, feminisme, dan kesehatan mental. Namun, lagi-lagi John Steinbeck mengemasnya secara halus dan rapi—disampaikan lewat dialog, alur cerita, penggambaran suasana dan karakter yang kuat. Kita bisa menilik beberapa idiom rasisme disampaikan melalui dialog seperti ini:

            Mungkin kali ini kalian sebaiknya pergi, rasanya aku tidak ingin kalian di sini. Orang kulit hitam harus punya hak, sekali pun dia tidak menyukainya.

Meski di tulis pada tahun yang kelewat lampau—1937, saya rasa novel ini masih cukup segar untuk dibaca. Isu yang diangkat dalam novel ini masih begitu relevan dengan isu kemanusiaan kekinian. Atau, mungkin ungkapan ini benar adanya; bahwa masalah baru sebenarnya tidak ada, semua masalah pernah terjadi di masa lalu. Namun, semua akan terulang kembali di masa depan, setiap yang terjadi hanya mengikuti siklus. Dan, itu pasti pernah terjadi di masa lalu.

Terlepas dari itu semua, novel setebal 143 halaman begitu layak menjadi teman duduk. Terutama bagi penggemar cerita dan penikmat tragedi. Dan, saya rasa 143 halaman tidak akan membuat mata perih, jika pun harus dibaca sekali duduk. begitu ringkas dan padat untuk menggambarkan suatu topik pada masa-masa depresi besar. Dan, tidak ada yang benar-benar sia-sia jika manusia tetap membudayakan membaca, kecuali jika manusia itu ingin hidup sebagai hewan ternak—yang hanya memikirkan makan dan memuaskan majikan.

Tags: depresi besarJohn Stainbeckkaum pekerjaOf Mice and MenpeternakanTikus dan Manusia
ShareTweetSendShare
Previous Post

Perjalanan Menuju Tarempa, Kepulauan Anambas

Next Post

Hujan Menulis Air

Wasis Zagara

Wasis Zagara

Bertempat tinggal di Kab. Ponorogo, Saat ini menjadi Ketua komunitas literasi Forum penulis Muda (FPM) Ponorogo. Instagram : @Wasis_Zagara, email : wasis.zagara145@gmail.com

Artikel Terkait

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
Resensi

Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

24 Agustus 2025

Dalam hidup ini, pastinya kita pernah mengalami situasi keterburu-buruan. Waktu seolah-olah mengejar kita. Tak ada waktu lagi untuk sekadar duduk...

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
Resensi

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025

 “Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu...

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas
Resensi

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas

28 Maret 2024

Deretan kasus perundungan akhir-akhir ini terus bermunculan. Belum lama ini ramai tajuk berita seputar kasus perundungan di Binus School Serpong,...

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard
Resensi

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022

Judulnya Educated. Buku memoar yang mengantongi lika-liku kehidupan sebuah keluarga ‘penjaga’ lembah indah, Buck’s Peak, Idaho Amerika Serikat. Tara Westover...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Pendidikan Virtual : Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

Pendidikan Virtual: Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

20 November 2020
Gambar Artikel Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

2 November 2020
Dua Lelaki

Dua Lelaki

23 April 2021
Gambar Artikel Tindak Korupsi di Mata Ahmad Hassan

Tindak Korupsi di Mata Ahmad Hassan

11 Januari 2021
Membaca Cara Kerja Pikiran

Membaca Cara Kerja Pikiran

8 April 2022
Sebuah Limerick yang Gagal

Sebuah Limerick yang Gagal

22 Maret 2022
Gambar Artikel Ada Apa dengan Pak Prabowo Subianto?

Ada Apa dengan Pak Prabowo Subianto?

31 Desember 2020
Mudik dan Sambatan Rohani Tahun Ini

Mudik dan Sambatan Rohani Tahun Ini

25 Mei 2021
Gambar Artikel Pengungsi Peradaban, Para Pencari Mbah Nun

Pengungsi Peradaban (2)

23 Januari 2021
Serba-serbi Kali

Serba-serbi Kali

1 Maret 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.