• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 18 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Puisi

Yang Mengelucak dari Lembar-Lembar Buku Pepak

Yohan Fikri M by Yohan Fikri M
18 Februari 2021
in Puisi
0
Yang Mengelucak dari Lembar-Lembar Buku Pepak

https://unsplash.com/photos/nM0gK7-jYaw

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

1.

Dan kenangan, tetiba mengelucak

dari balik lembar-lembar buku pepak

ketika kubaca, dan aku teringat

bagaimana kita dahulu mengisi waktu istirahat.

Kita saling melempar tebakan:

cangkriman, wangsalan, hingga parikan.

Paribasan, bebasan, sampai sanepan.

Tak peduli nanti benar ataukah salah dalam menebak,

toh, mulut kita akan tetap tergelak.

Menertawakan penat dan mentawarkan lelah,

setelah pening menghapal apa yang tercatat

di buku-buku diktat pelajaran sekolah.

 

2.

“Dikethok malah dhuwur!”

Seorang kawan melempar cangkriman

tepat ke pusat ketidaktahuanku,

dan aku tercekat, lantas buru-buru

mencari jawaban yang tepat bagai seorang lanun

gigih memburu harta karun,

dari celah-celah lipatan pulau

hingga sudut laut paling tak terjangkau.

 

3.

Setelah temanku, dan temanku,

dan temanku lagi, tibalah waktuku kini.

Kesempatan barangkali tak ubahnya antrean

panjang sebuah sirkus pertunjukan

dan kita adalah calon penonton

yang kadang sabar-kadang gusar

menanti giliran di tengah antrean panjang mengular.

Seorang portir di ambang pintu

terus berjaga serupa waktu.

Ialah yang akan memeriksa karcis yang kita bawa,

sudahkah kita siap masuk ke dalamnya?

 

4.

“Busuk ketekuk, pinter keblinger!”

Ganti kulempar sebuah paribasan.

Seketika itu, mereka jalma mufassir

yang sibuk menuai tafsir—Wrekodara

yang menyelam ke jeluk dasar samodra

mencari lokan-lokan mutiara

yang terpendam di kedalamannya.

 

Lalu, sembari menunggu mereka

aku dedah bongkah-bongkah petuah,

aku urai nilai-nilai yang terberai,

hingga kutemukan sesanti

sebagai wangi biji-biji buah vanili

terkandung di rahim purwakanthi.

 

5.

“Sing bodho lan sing pinter, pada nemu cilaka!”

Seru mereka, serempak melontarkan jawabannya.

Tetapi, mengapa yang pandai pun sampai celaka?

Bukankah pengetahuan adalah nyala damar,

menara suar, bahkan pijar lintang utara

yang menuntun layar dan cadik kita

kala menyibak laut bersamput lumur gelita?

 

Selepas aku dewasa, dan mulai sedikit gemar membaca

aku mulai menduga, “Mengapa pengetahuan

dapat melahirkan celaka?” Barangkali,

sebab tak digunakan atas dasar rasa cinta.

 

Gading Pesantren, 2020

 

 

Resep Membuat Urap-Urap

 

Beginilah waktu yang selalu kutunggu ketika di rumah, menemani Ibu di dapur, membantunya memasak sembari menceritakan banyak hal yang kualami di perantauan: kesibukan selain kuliah, nilai IPK yang turun, teman yang senang cari muka, sampai yang berangkat waktu ujian saja. Hari ini, Ibu berucap bahwa ia akan membuat urap-urap.

 

Mula-mula, kulihat Ibu menyiapkan bermacam bumbu dan bahan: beberapa lonjor kacang panjang yang rindu kepada ladang, taoge yang simpan tabah tabiat tanah, seuntai daun bayam dan sawi sehijau rona pagi hari, serta kelapa muda yang ciut melihat nyali parut. Sementara cabai rawit, beberapa siung bawang merah dan putih, selembar daun jeruk, kencur, gula dan garam  telah siap ditumbuk sebagai sedap bumbu urap tuk mengharumkan marwah meja makan.

 

Ibu memintaku menyiangi seuntai bayam dan sawi, memotongnya sesuka hati. Sementara ia memarut kelapa dengan hati-hati dan penuh teori. “Untuk membuat urap, kita butuh kelapa yang kasar parutannya. Maka parutlah dengan arah melebar sehingga akan dihasilkan serpihan yang kasar. Segala sesuatu mestilah memakai ilmu, anakku. Orang tak punya ilmu bekerja sesuka hati, orang berilmu bekerja dengan hati-hati.” Aku mengangguk seolah mengerti.

 

Ibu menyuruhku menghaluskan bumbu-bumbu, lalu mencampurnya dengan parutan kelapa. Setelah itu, ia membungkusnya dengan daun pisang, menusuknya dengan sebatang lidi agar saat dikukus tak bedah dan meluber ke mana-mana. “Ilmu pun juga harus punya wadah dan penusuk agar tak bedah, anakku. Umpama ilmu itu bumbu-bumbu, maka wadah dan penusuknya tak lain adalah perangaimu.” Aku mengangguk kembali, seolah mengerti.

 

Sembari menunggu bayam dan sawi matang direbus, bumbu-bumbu dikukus. Tak lama berselang, bayam dan sawi matang. Bumbu menyusul dari belakang. Sayur ditiriskan, bumbu dicampurkan. Ibu bertanya kali kesekian, “Paham kau dengan apa yang Ibu nasehatkan?” Urap-urap sudah jadi, lagi-lagi aku mengangguk pura-pura mengerti.

 

Gading Pesantren, 2020 – 2021

 

 

Tenung

 

Di atas selembar taplak merah: mangkuk kuningan

berisikan air kembang, asap dupa yang meriapkan bulu roma,

buluh lilin bernyala redup, batok kepala, jarum, dan sebuah boneka

menyambut kau yang datang sambil diliput rasa gamang.

 

Entah setan ataukah dirimu sendiri, seperti kau rasa ada

yang berkisik di kedalaman hati, “mati…mati…mati…”

 

Setelah sedikit berkeluh dan berkilah dari batin yang terus mengutukimu

dengan rasa bersalah, dukun itu pun komat-kamit merapal kalimat

dalam bahasa yang rumit dan hanya bisa dipahami

oleh dada yang telah khatam kepada luka.

 

Lalu kau lihat ia mencengkau boneka jerami, dan menusukinya

dengan jarum pentul. Sementara kau bayangkan kekasihmu

yang selingkuh atau kawan dagang yang kaupandang sebagai musuh,

malam itu tengah berdarah, merintih, dan mengaduh.

 

“Jarum itu kau tahu? Tak setajam jenawi. Boneka itu pun benda mati.

Keduanya dapat membunuh sebab digerakkan rasa benci.”

 

Gading Pesantren, 2021

Tags: buku pepaklembarnasehatpengetahuantenungurap-urap
ShareTweetSendShare
Previous Post

Facebook, Penyair, dan Lunatisme

Next Post

Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

Yohan Fikri M

Yohan Fikri M

Mahasiswa di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Puisinya dimuat di berbagai media dan antologi bersama dan menjuarai berbagai kompetisi menulis puisi. Dapat dihubungi melalui akun instagramnya @yohan_fvckry.

Artikel Terkait

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
Puisi

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya

14 Agustus 2025

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya setiap malam ia menyetrika tubuhnya di depan kaca mencari lipatan-lipatan yang membuat lelaki itu malas pulang...

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
Puisi

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

3 Agustus 2025

Hisap Aku hingga Putih bulan merabun serbuk langit bebal pohon dan batu tak bergaris hitam coreng malam yang sumuk punggung...

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
Puisi

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya

20 Juli 2025

Status Baru Ibu Ia tidak menangis di depan siapa pun. Tapi aku tahu, ada yang basah tiap kali ia mencuci...

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
Puisi

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya

22 Juni 2025

Kiat Marah yang Payah  Malam hari yang dingin mencekam cepat menusuk pori-pori. Dan keniscayaan lupa mendekam di hati dan kantong...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

26 Desember 2020
Gambar Artikel Bias Kegelisahan dan Kenangan

Bias Kegelisahan dan Kenangan

17 November 2020
Gambar Artikel Bulan yang Lahir dari Penderitaan

Bulan yang Lahir dari Penderitaan

30 Desember 2020
4 Alasan Fundamental Mengapa Kita Perlu Membaca

4 Alasan Fundamental Mengapa Kita Perlu Membaca

3 April 2022
Gambar Artikel Romantisme Kopi Sachet Angkringan

Romantisme Kopi Sachet Angkringan

11 November 2020
Gambar Artikel Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

2 November 2020
Buku Mengajak Bicara dengan Diri Sendiri

Buku Mengajak Bicara dengan Diri Sendiri

17 Desember 2021
Resolusi Parmin

Resolusi Parmin

6 Februari 2021
Violinis Caitlin

Violinis Caitlin

26 Juli 2021
Gambar Artikel Ada Apa dengan Pak Prabowo Subianto?

Ada Apa dengan Pak Prabowo Subianto?

31 Desember 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.