1.
Dan kenangan, tetiba mengelucak
dari balik lembar-lembar buku pepak
ketika kubaca, dan aku teringat
bagaimana kita dahulu mengisi waktu istirahat.
Kita saling melempar tebakan:
cangkriman, wangsalan, hingga parikan.
Paribasan, bebasan, sampai sanepan.
Tak peduli nanti benar ataukah salah dalam menebak,
toh, mulut kita akan tetap tergelak.
Menertawakan penat dan mentawarkan lelah,
setelah pening menghapal apa yang tercatat
di buku-buku diktat pelajaran sekolah.
2.
“Dikethok malah dhuwur!”
Seorang kawan melempar cangkriman
tepat ke pusat ketidaktahuanku,
dan aku tercekat, lantas buru-buru
mencari jawaban yang tepat bagai seorang lanun
gigih memburu harta karun,
dari celah-celah lipatan pulau
hingga sudut laut paling tak terjangkau.
3.
Setelah temanku, dan temanku,
dan temanku lagi, tibalah waktuku kini.
Kesempatan barangkali tak ubahnya antrean
panjang sebuah sirkus pertunjukan
dan kita adalah calon penonton
yang kadang sabar-kadang gusar
menanti giliran di tengah antrean panjang mengular.
Seorang portir di ambang pintu
terus berjaga serupa waktu.
Ialah yang akan memeriksa karcis yang kita bawa,
sudahkah kita siap masuk ke dalamnya?
4.
“Busuk ketekuk, pinter keblinger!”
Ganti kulempar sebuah paribasan.
Seketika itu, mereka jalma mufassir
yang sibuk menuai tafsir—Wrekodara
yang menyelam ke jeluk dasar samodra
mencari lokan-lokan mutiara
yang terpendam di kedalamannya.
Lalu, sembari menunggu mereka
aku dedah bongkah-bongkah petuah,
aku urai nilai-nilai yang terberai,
hingga kutemukan sesanti
sebagai wangi biji-biji buah vanili
terkandung di rahim purwakanthi.
5.
“Sing bodho lan sing pinter, pada nemu cilaka!”
Seru mereka, serempak melontarkan jawabannya.
Tetapi, mengapa yang pandai pun sampai celaka?
Bukankah pengetahuan adalah nyala damar,
menara suar, bahkan pijar lintang utara
yang menuntun layar dan cadik kita
kala menyibak laut bersamput lumur gelita?
Selepas aku dewasa, dan mulai sedikit gemar membaca
aku mulai menduga, “Mengapa pengetahuan
dapat melahirkan celaka?” Barangkali,
sebab tak digunakan atas dasar rasa cinta.
Gading Pesantren, 2020
Resep Membuat Urap-Urap
Beginilah waktu yang selalu kutunggu ketika di rumah, menemani Ibu di dapur, membantunya memasak sembari menceritakan banyak hal yang kualami di perantauan: kesibukan selain kuliah, nilai IPK yang turun, teman yang senang cari muka, sampai yang berangkat waktu ujian saja. Hari ini, Ibu berucap bahwa ia akan membuat urap-urap.
Mula-mula, kulihat Ibu menyiapkan bermacam bumbu dan bahan: beberapa lonjor kacang panjang yang rindu kepada ladang, taoge yang simpan tabah tabiat tanah, seuntai daun bayam dan sawi sehijau rona pagi hari, serta kelapa muda yang ciut melihat nyali parut. Sementara cabai rawit, beberapa siung bawang merah dan putih, selembar daun jeruk, kencur, gula dan garam telah siap ditumbuk sebagai sedap bumbu urap tuk mengharumkan marwah meja makan.
Ibu memintaku menyiangi seuntai bayam dan sawi, memotongnya sesuka hati. Sementara ia memarut kelapa dengan hati-hati dan penuh teori. “Untuk membuat urap, kita butuh kelapa yang kasar parutannya. Maka parutlah dengan arah melebar sehingga akan dihasilkan serpihan yang kasar. Segala sesuatu mestilah memakai ilmu, anakku. Orang tak punya ilmu bekerja sesuka hati, orang berilmu bekerja dengan hati-hati.” Aku mengangguk seolah mengerti.
Ibu menyuruhku menghaluskan bumbu-bumbu, lalu mencampurnya dengan parutan kelapa. Setelah itu, ia membungkusnya dengan daun pisang, menusuknya dengan sebatang lidi agar saat dikukus tak bedah dan meluber ke mana-mana. “Ilmu pun juga harus punya wadah dan penusuk agar tak bedah, anakku. Umpama ilmu itu bumbu-bumbu, maka wadah dan penusuknya tak lain adalah perangaimu.” Aku mengangguk kembali, seolah mengerti.
Sembari menunggu bayam dan sawi matang direbus, bumbu-bumbu dikukus. Tak lama berselang, bayam dan sawi matang. Bumbu menyusul dari belakang. Sayur ditiriskan, bumbu dicampurkan. Ibu bertanya kali kesekian, “Paham kau dengan apa yang Ibu nasehatkan?” Urap-urap sudah jadi, lagi-lagi aku mengangguk pura-pura mengerti.
Gading Pesantren, 2020 – 2021
Tenung
Di atas selembar taplak merah: mangkuk kuningan
berisikan air kembang, asap dupa yang meriapkan bulu roma,
buluh lilin bernyala redup, batok kepala, jarum, dan sebuah boneka
menyambut kau yang datang sambil diliput rasa gamang.
Entah setan ataukah dirimu sendiri, seperti kau rasa ada
yang berkisik di kedalaman hati, “mati…mati…mati…”
Setelah sedikit berkeluh dan berkilah dari batin yang terus mengutukimu
dengan rasa bersalah, dukun itu pun komat-kamit merapal kalimat
dalam bahasa yang rumit dan hanya bisa dipahami
oleh dada yang telah khatam kepada luka.
Lalu kau lihat ia mencengkau boneka jerami, dan menusukinya
dengan jarum pentul. Sementara kau bayangkan kekasihmu
yang selingkuh atau kawan dagang yang kaupandang sebagai musuh,
malam itu tengah berdarah, merintih, dan mengaduh.
“Jarum itu kau tahu? Tak setajam jenawi. Boneka itu pun benda mati.
Keduanya dapat membunuh sebab digerakkan rasa benci.”
Gading Pesantren, 2021