• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Selasa, 26 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Puisi

Maret, Masihkah Kau Ingat Namaku?

Jamaludin GmSas by Jamaludin GmSas
28 Januari 2021
in Puisi
0
Gambar Artikel Puisi Maret, Masihkah Kau Ingat Namaku

Sumber Gambar : https://unsplash.com/photos/pMBoh00wf6s

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Puisi Maret, Masihkah Kau ingat Namaku?

 

Maret, masihkah kau ingat namaku?

Secangkir kopi hangat dibiarkan dingin

dan belum atau tak mau dihabiskan.

Aku terjun dan berenang ke kedalaman cangkir

yang masih berisi sisa-sisa kenangan.

Aku masih mendengar tawa lucumu.

Di kepalaku, yang sepagi suntuk ambruk

bersama cangkir yang tak sengaja remuk

dipukuli rindu, sudah tak mengenal lagi

tawa nakal dan curhatan-curhatan tidak

penting dari bibirmu yang kemayu itu.

 

Maret, masihkah kau ingat namaku?

Biasanya pertanyaan-pertanyaan yang selalu

diulang-ulang sudah dielu-elukan lewat jendela

rumah empat inci, dan aku terbang bersama

sekawanan burung puisi dengan bebas kemudian

tangkring di sebatang hidungmu untuk

mengucapkan “selamat pagi” di telingamu dan

mengecupkan “aku cinta kamu” di keningmu.

Setelah itu, seekor puisi dan puisi yang lain

bersahut-sahutan mengicaukan percakapan-percakapan

manja di antara kita berdua.

 

Namun, bolak-balik kubuka gawai, sudah

tak ada yang sungguh penting untuk ditunggu.

Seekor puisi sudah pulang ke sarangnya.

Sajak-sajak sudah lama terjebak di got,

tersendat oleh tumpukan sampah-sampah aduh.

Segala kata yang mati sudah kumakamkan di kuburan

bersama kenangan-kenangan yang saban hari kuziarahi.

Perihal batu nisan yang bertuliskan namaku, itu hanya

untuk menipu kesepian yang setiap waktu mengejek

dan memukuliku hingga biru tak berwujud aku.

Perlu kauketahui, handphone-ku sudah berubah

menjadi pemakaman yang sepi dan menakutkan.

 

Maret, masihkah kau ingat namaku?

Aku sedang khawatir memikirkan sungai

air matamu yang dulu bermuara di samudra

dadaku yang lapang dan benderang—

sekarang kaulandas-tandaskan ke mana setelah

tubuh dan namaku kauusir dari negerimu.

Rambutmu yang ungu sekarang pasti bau,

jarang mandi, jarang diminyaki, jarang dielus-elus

oleh tangan-tangan doaku yang biasanya langsung

kaususul dengan amin yang sudah tidak

perlu dikatakan lagi. Karena kata hanyalah kata,

tak kuasa mengabulkan apalagi menabahkan

layaknya senyummu yang ayu dan uwuwuwu.

 

Maret, masihkah kau ingat namaku?

Aku (yang dulu) selalu malu melihat bening dan luasnya

samudra matamu, tapi berani-beraninya aku tetap masuk,

walau tenggelam, lalu engkau melemparkan pelampung,

kemudian aku selamat. Engkau tersenyum dan masih saja

menutupi bibirmu yang merdu dan lucu.

 

Masihkah kau ingat malam itu?

Tiba-tiba engkau menghambur-hamburkan nada-nada

yang sedang dinyanyikan; memecah kata demi kata

yang sudah lama sekali kususun menjadi sekotak

kolam cinta, yang suatu hari nanti kita akan berenang

berdua layaknya ikan yang sedang dibaptis kesedihannya;

memukul harap demi harap; memorak-porandakan rambutku

yang selama ini kusisir rapi dengan tangan halusmu sendiri.

Masih ingatkah, Engkau? Pada malam itu kau memutuskan

untuk membuang namaku dari surga yang sudah lama kita cipta.

Layaknya Adam dan Eva, aku mengharap sebuah jumpa.

 

Maret, masihkah kau ingat namaku?

Entah sebuah nama pada kali pertama kau mengenalku,

atau pada saat kauputuskan untuk melupakanku.


Al-Ikhsan, Maret 2020

 

Puisi Seorang Perempuan Yang Terbiasa Dengan Lukanya

 

Hujan telah datang.

seorang perempuan keluar

dan bersatu dengan hujan,

entah jeritnya atau pun derasnya.

Tak ada yang lebih tau tentang

apa yang sedang terjadi terhadap

luka yang dibiarkannya terkena

air hujan atau pun air mata dan

tak bisa kering dan mengelupas.

Seekor waktu datang memburunya—

entah akan menyembuhkan

atau hanya menyembunyikan.


Al-Ikhsan, November 2020

 

Puisi Murung 1

 

Apa yang ia lihat saat pagi mulai menyapa,

di waktu matahari menggeliatkan badan

dari sarangnya lewat retakan-retakan dinding

yang sudah tua menuju bumi yang rindu akan

nyawa, dan saat embun lama-lama kering

juga tak lagi menggigil tertiup angin.

Apa yang ia lihat: sorot mata yang lindap,

sesuatu yang merangkak di dalam selimut yang

pengap, atau wajah langit yang dengan telaten

menjadi pagi, menjadi sore, menjadi malam

demi tubuh-tubuh yang harus selalu tepat waktu,

meski jiwanya selalu menolak dan menggerutu:

”Tak ada yang benar-benar tepat waktu.”

“Seperti kesedihan, misalnya?” tanya waktu.


Al-Ikhsan, Agustus 2020

 

Puisi Murung 2

 

Rerumputan basah oleh embun,

batu-batu diam mencipta keheningan,

dan burung-burung mencoba

menyanyikan lagu kesedihan yang disadur

dari puisi-puisi yang masih belum

sempat dituliskan sampai sekarang.

 

Ada yang sedang duduk bercangkung

sambil menatap tanah dengan tatapan

entah. Tuhan menafsir punggungnya yang

melengkung dan kepalanya yang hilang

: sebuah tanda bahwa ada yang basah,

entah pipi atau hatinya yang sudah kalah.


Al-Ikhsan, November 2020

 

 

Puisi Tidak Ada Kamu

 

Seperti langit yang kehilangan matahari.

Wajahmu datang dengan begitu hitam

dan lengang. Tak ada fajar yang mampu

menerjemahkan bahasa bulan.

 

Bila aku terbangun karena dijilati sinar

matahari, tak mungkin wajahmu ada

kecuali hanya di dalam mimpi

: ruangan yang hanya diisi oleh dengkuran waktu

yang tak habis-habisnya mengacaukanku.

 

Al Ikhsan, Januari 2021

Tags: ingatanmaretmasih ingatkah namaku?murungperempuanperempuan terluka
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pengasingan

Next Post

Kiriman Nasib dari Seseorang

Jamaludin GmSas

Jamaludin GmSas

Lahir di Pemalang, 20 Juli 1997. Santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas yang juga pecinta kopi. Puisi-puisinya pernah disiarkan di laman: Koran Tempo, Pos Bali, Medan Pos, Tanjungpinang Pos, Radar Banyumas, dan lain-lain. Boleh dicolek via Instagram: @jamaludin-gmsas.

Artikel Terkait

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
Puisi

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya

14 Agustus 2025

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya setiap malam ia menyetrika tubuhnya di depan kaca mencari lipatan-lipatan yang membuat lelaki itu malas pulang...

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
Puisi

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

3 Agustus 2025

Hisap Aku hingga Putih bulan merabun serbuk langit bebal pohon dan batu tak bergaris hitam coreng malam yang sumuk punggung...

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
Puisi

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya

20 Juli 2025

Status Baru Ibu Ia tidak menangis di depan siapa pun. Tapi aku tahu, ada yang basah tiap kali ia mencuci...

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
Puisi

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya

22 Juni 2025

Kiat Marah yang Payah  Malam hari yang dingin mencekam cepat menusuk pori-pori. Dan keniscayaan lupa mendekam di hati dan kantong...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Pulau Semau, Sang Inti Matahari

Pulau Semau, Sang Inti Matahari

15 Maret 2021
https://www.freepik.com/free-vector/schizophrenia-concept-illustration_10198495.htm#query=depression&position=3&from_view=search

Birai-Birai Kelapa

23 Desember 2021
Vincent van Gogh: Mati atau Mukti?

Vincent van Gogh: Mati atau Mukti?

24 April 2021
Gambar Artikel Jejak Akhir Tahun Menuju Tahun Baru Api. Kasus di Akhir Tahun

Jejak Akhir Tahun Menuju Tahun Baru Api

12 Januari 2021
Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022
Episodik: Depresi

Episodik: Depresi

5 April 2021
Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 Maret 2022
Monolog Rayap Terbang di Lantai 13

Monolog Rayap Terbang di Lantai 13

18 Mei 2021
Gambar Artikel Kehutanan yang Maha Hijau

Kehutanan yang Maha Hijau

20 November 2020
Perihal Wajah Asing di Kereta

Perihal Wajah Asing di Kereta

8 Desember 2023
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.