Aku seperti berjalan tanpa jiwa di taman kota. Ketika matahari sore di Cirebon sedang terik dan mencekik, tubuh kopong ini berusaha melipur penat. Aku merasa hidup sebagai budak. Seperti kerbau yang dicucuk hidung oleh tuannya. Masuk kerja pukul delapan, bersibuk ria dengan komputer dan kertas-kertas, kemudian pulang pukul empat.
Lingkaran waktu terus saja seperti itu. Berulang-ulang. Kulakukan lima hari selama seminggu. Sungguh hidup yang amat membosankan.
Kini dua sosis bakar dan segelas es lemon tea sudah di tangan. Di sore hari yang tidak begitu ramai, aku berjalan mencari tempat duduk. Suasana lengang. Waktu yang sangat menyenangkan untuk menikmati kesendirian.
Mataku mengeja sekitar, menangkap sosok yang menarik. Ia duduk di tengah taman. Warna langit sedang jingga sewaktu kulihat ada palet, kanvas dan kuas cat di tangan dan depan tubuh sosok itu. Ia tampak begitu khidmat. Sepertinya ingin melukis taman kota di sore hari.
Tidak kumengerti mengapa dia membuatku terhisap. Tidak ada yang mencolok dari dirinya. Hanya pria yang sedang melukis. Yang mencolok dari penampilannya pun nihil. Ia hanya menggunakan kaos putih, celana jeans yang warnanya sudah agak pudar dan sepatu sneakers hitam. Tas ransel dan botol minum ia simpan di samping kiri.
Aku masih mencari-cari apa yang begitu membuatku tertarik pada pria itu. Mungkinkah karena ia melukis? Sesuatu yang tidak bisa lagi kulakukan. Semakin lama aku memperhatikannya semakin ingin aku mengenalnya.
“Selamat sore,” itu kalimat pertama yang keluar dari bibirku. Secara misterius, dan tanpa kuduga, langkahku bergerak sendiri ke arah pria yang tampak lebih tinggi dariku.
Dia berhenti melukis. Tangannya masih memegang kuas. “Iya, selamat sore.” Di ujung kalimat itu aku bisa melihatnya tersenyum. Bingung, percakapan apa yang selanjutnya perlu kulontarkan.
“Boleh ikut duduk? Aku punya dua sosis.” Balasku kikuk dengan mengangkat bungkusan berisi sosis dan segelas es lemon tea. Aku tersenyum canggung.
“Boleh.” Jawabnya datar. Ia menggeser ransel dan jaket.
Bau cat air yang ia gunakan tercium. Paletnya hanya terisi dua warna. Hitam dan putih. Dengan saksama aku melihatnya yang sedang melukis lampu taman sebagai objek utama. Gradasi warna dan gelap terang yang ia gunakan begitu puitik.
“Keren…” gumamku.
Ia menatapku, dan seketika aku merasa kikuk. Kuas yang sedari tadi ia pegang, ia simpan.
“Terima kasih,” sekali lagi, kulihat ia tersenyum. “Namaku Septa, siapa namamu?”
“Oh iya, salam kenal, Septa. Aku Fafa, kamu mau sosis?” Kusodorkan sosis ke arahnya.
Ia tertawa kecil lantas memberi respons, “Sini Aku mau. Kebetulan sekali Aku lapar.” Tangan yang usai memegang kuas itu kini menerima sosis yang kuberi.
“Kamu suka melukis?”
“Iya, kalau senggang saja,” segigit sosis masuk ke mulutnya.
“Senang, ya, bisa melukis,” gumamku.
“Iya, memang menyenangkan. Kamu suka melukis juga?” Matanya tampak tulus bertanya.
“Suka… tapi sudah lama aku tidak melukis lagi.” Jawabku.
“Oh, ya, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala, “Sosisnya enak ya, Ta?” Dia hanya mengangkat alis, sepertinya dia memahami bahwa aku tak ingin membicarakan tentang hal ini.
Langit perlahan meremang ketika matahari sudah mulai sembunyi. Ia merapikan kanvas dan paletnya, mengenakan jaket, mengikat tali sepatu, kemudian berjalan pergi dengan tas ransel di punggungnya.
“Ayok pulang.” Ucapnya.
Aku bangun dari dudukku. Ia berjalan di depanku. Kini aku bisa mengamati punggungnya dengan perasaan masygul yang anehnya justru menenangkan.
Dalam pikiranku, sungguh aku ingin sekali menikmati waktu libur dengan melukis. Aku tak bisa melakukan itu, semenjak ayahku yang seorang seniman pergi demi kekasihnya. Ia meninggalkan ibu saat aku masih kelas 2 SMA. Semenjak itu, ibu melarangku melukis. Sedang bagiku melukis adalah satu-satunya hal baik yang bisa kuingat tentang Ayah. Mungkin ibu punya rasa sakit yang tak bisa dijelaskan dan aku hanya bisa mencoba memahaminya.
Setiba di rumah, suasana tampak sepi. Sepertinya ibu sedang di rumah bibi. Terkadang aku merasa sedih melihat ibu sendirian di rumah. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa. Karena tak mungkin aku hanya diam di rumah sementara untuk hidup aku butuh uang. Itulah alasanku kenapa tetap bekerja dalam rutinitas yang memuakkan. Terlebih sudah lama ibu tidak bekerja. Setelah aku lulus kuliah, ibu tidak lagi bekerja karena sering sakit-sakitan.
Di tengah kepenatan, yang sering kali keparat itu, mandi membuatku merasa segar kembali. Selanjutnya adalah waktu yang tepat untuk merebahkan punggung di kasur. Terdengar suara pintu dibuka. Ibu sudah pulang.
“Fafa, ini ibu bawa kolek pisang dari bibi,” teriak ibu dari arah dapur. Dengan enggan aku pergi ke dapur. Memakan kolek pisang tanpa gairah, kemudian pergi ke kamar lagi.
Pertemuanku dengan Septa hari ini membuatku iri dan cemburu. Setangkup perasaan yang muncul ketika melihatnya bisa dengan senang dan leluasa melukis. Sedang aku hanya bisa mencorat-coret notes di sela-sela pekerjaan.
Ting! Ada pesan masuk.
Fa, besok senggang?
Ternyata pesan masuk dari Septa. Tadi kami sempat bertukar kontak.
Kosong, Ta. Kenapa?
Ada pameran lukisan di Gedung kesenian. Mau ke sana?
Mau. Jam berapa?
Jam 10 ya. Aku jemput kamu?
Tidak usah, Ta, kita ketemu di depan Gedung Kesenian saja
Oke
Gedung Kesenian tampak ramai. Hampir sama dengan penampilannya kemarin, Septa hanya memakai kaos hitam polos, celana jeans dan sepatu sneakers. Aku mengambil katalog, mulai melihat-lihat lukisan yang dipamerkan. Aku terpaku saat melihat salah satu lukisan.
Bukan karena lukisan itu, tapi karena pelukis yang membuatnya. Itu lukisan buatan ayah.
“Kamu suka?” Pertanyaan Septa membangunkan lamunanku.
“Oh, tidak tidak, aku hanya membaca keterangannya saja,”
“Nama belakang pelukisnya sama dengan nama kamu ya, Fa.”
Aku tertawa kecil, “Dia ayahku, Ta”. Lalu aku berjalan lagi, meninggalkan lukisan itu.
“Waw… Fa, ayahmu pelukis? Keren banget,” Septa menyusul berjalan di sampingku. Aku bingung, apakah perlu kuceritakan tentang diriku padanya?
“Aku boleh cerita kenapa aku tak lagi melukis?” tanyaku.
“Boleh, kalau memang kamu mau. Sepertinya kemarin kamu nggak ingin bahas itu.”
Sejenak aku mengambil jeda, lalu bercerita, “Bagiku, melukis adalah hal yang menyenangkan. Melukis menjadi penenang di saat resah.”
Mengambil napas sedikit tertahan, kulanjut, “Melukis bisa menjadi warna bagi kehidupan. Tapi saat ini rasanya hidupku abu-abu. Tanpa warna lain. Aku tidak lagi melukis setelah ayahku pergi meninggalkan ibuku demi kekasihnya. Ya, sejak itu ibu tak lagi membolehkanku melukis.”
Mata pria itu seperti bisa menangkap perasaanku, “Mungkin itu mengingatkan ibu pada ayah. Mungkin ada rasa sakit yang tak bisa aku mengerti dan aku hanya perlu maklum. Sejak saat itu aku tak lagi melukis. Padahal, bagiku, melukis membuatku merasa lebih hidup.”
Aku menatapnya. Ia masih mendengarkan, menungguku usai bercerita.
“Aku iri padamu, Ta, kamu bisa melukis dengan bebas.” Ucapku berterus terang.
“Hahaha, tak perlu iri padaku, Fa. Ayo besok kita melukis bersama di taman kota. Kita melukis lampu taman. Ia sebatang kara tapi dengan teguh berdiri di siang yang panas dan malam yang dingin. Kita melukis kebaikan hati lampu taman yang menyinari di kala malam. Ayo kita melukis!”
Kutatap ia dengan bisu. Tampak ada api yang hangat dari wajahnya ketika ia meneruskan, “Ayo kita membubuhkan warna dalam hidup, bukan cuma di kanvas. Ayo besok kita melukis dengan sembunyi-sembunyi, biar tidak ketahuan ibumu.” Sekarang ia menyeringai.
Aku jadi tertawa. Melukis dengan sembunyi-sembunyi katanya? Hahaha, sudah lama aku tidak main petak umpet.
***
Taman kota di hari Minggu ternyata ramai. Barangkali karena memang waktu libur, semua orang beristirahat dari penatnya hari kerja. Sebelum ke taman kota, aku sengaja mampir ke toko alat lukis untuk membeli beberapa perlengkapan. Ya, semenjak kejadian itu aku tak lagi punya alat lukis. Semuanya sudah ibu singkirkan entah kemana. Sengaja juga aku membeli dua kotak cat air 12 warna. Yang satu lagi untuk Septa.
Kulihat Septa sudah datang duluan, Ia duduk di tempat pertama kami bertemu. Tempat yang sama, sore yang berbeda.
“Hai.”
“Hai, Fa…”
“Rupa-rupanya lagi senang, nih!” Ia menggodaku.
“Iya… aku senang sekali bisa melukis lagi, hehehe, terima kasih, ya…”
“Ayo duduk, kita mulai melukis. Nanti lukisannya tukeran, ya. Punyaku untukmu dan punyamu untukku.”
“Oke,”
Aku mulai sibuk mengeluarkan peralatan lukis yang baru kubeli. Rindu sekali rasanya bisa melukis lagi. Kami mulai asik tenggelam dengan lukisan masing-masing. Benar saja, kali ini pun dia hanya menggunakan warna hitam dan putih, sementara aku melukis dengan penuh warna.
Angin semilir menyejukkan kening. Lukisanku sudah hampir jadi.
“Sudah selesai?” Tanya Septa.
“Sudah, kamu?” Balasku.
“Sudah, tinggal menunggu catnya kering.” Ia mulai merapikan alat lukisnya, memasukkannya ke dalam ransel.
“Kenapa kamu hanya menggunakan warna hitam dan putih?” Aku bertanya, rasanya penasaran sekali.
“Ya… karena aku hanya punya hitam dan putih,” jawabnya datar. Aku tidak sadar ada hal yang aneh dari ucapannya.
“Nih, aku kasih kamu 12 warna. Kamu bisa pakai ini untuk melukis.” Kuberikan kotak cat air itu.
Ia menolak.
“Aku hanya punya hitam putih, Fa. Aku tidak butuh 12 warna.” Ia tersenyum dan kini matanya seperti lebih sipit.
“Kenapa gitu? Aku sengaja beli ini untukmu, lho. Ini juga sebagai ucapan terima kasih karena kamu aku berani melukis kembali. Terima, ya?” Sedikit kupaksa.
“Percuma, Fa, aku nggak butuh itu. Aku hanya punya dua warna. Hidupku hanya mengenal hitam dan putih.”
Aku terdiam. Aku tak mengerti apa maksudnya.
“Fa, aku mengidap monokromasi. Aku hanya kenal hitam dan putih. Apapun yang kulihat hanya hitam dan putih. Tapi sungguh, aku sangat berterima kasih dengan maksud baikmu, tapi maaf sepertinya aku tak bisa menerimanya karena rasanya menyakitkan. Menyakitkan menerima satu kotak cat air 12 warna saat aku hanya bisa melihat dua warna.” Ia tersenyum lagi. senyumnya membuatku merasa bersalah.
“Maaf…” ucapku pelan.
Ia tersenyum lagi, “Ini akan menjadi lukisan paling indah yang aku punya, Fa. Aku ambil. ya…”
Lukisanku berpindah tangan. Aku masih terdiam menerima lukisan yang ia buat. Hitam putih yang terasa sendu.
“Nanti malam aku akan pulang ke Solo. Senang sekali bisa ketemu dan kenal denganmu. Aku pergi ya,” kembali lagi kulihat senyum itu. Ia mengambil tas ransel kemudian beranjak. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh.
Aku merasa menjadi manusia paling jahat. Ia yang hanya bisa melihat dua warna membuatku kembali menemukan warna. Meski, pada saat yang sama, ternyata aku tak pernah mengenal Septa. Semenjak hari itu, tak pernah lagi kutemukan Septa di manapun itu.[]
_____
Editor: M. Naufal Waliyuddin