Aku akan pindah rumah. Sudah sejak tadi pagi segalanya telah dipersiapkan. Orang-orang, para tetanggaku yang baik hati itu, bersedia meluangkan waktunya untuk pesta perpisahan yang berlangsung di rumah lamaku.
Meski disebut pesta, itu bukanlah kegiatan berlebihan yang menghambur-hamburkan uang. Keluargaku menyuguhkan makanan seadanya. Beberapa camilan tersaji di atas piring seperti kacang dan gorengan disuguhkan ke beberapa lingkaran yang dibuat oleh para tetanggaku yang baik hati itu.
Selain itu, beberapa cerek berisi kopi hitam yang pahit dan teh yang manis juga disuguhkan untuk mendampingi kudapan tadi. Mereka yang tidak suka keduanya bisa minum air mineral dalam kemasan yang diletakkan di beberapa titik di dekat mereka. Mereka menikmati hidangan itu sambil bercakap-cakap tentang isu-isu terhangat, baik dari skala regional, nasional, hingga semuka bumi.
Sebelum berangkat, aku harus mandi terlebih dahulu dan kemudian mengenakan pakaian yang paling bagus, berwarna putih tanpa noda dan beraroma kembang yang menyenangkan hidung. Pakaian itu adalah hadiah perpisahan dari salah satu tetanggaku yang baik hati.
Dia bahkan secara khusus membayar seorang penjahit untuk membuat pakaian itu. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Tentu saja, setelah pindah dan menjalani hari-hariku di tempat baru nanti, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melupakan kebaikannya itu, juga kebaikan-kebaikan para tetanggaku yang lain.
Setelah semuanya siap, aku pun berangkat menuju rumah baruku. Para tetanggaku yang baik itu tidak hanya bersedia meluangkan waktunya untuk menghadiri pesta perpisahan, tapi bahkan bersedia mengantarkanku ke rumah baruku. Mereka adalah para tetangga yang baik hati, kuharap Tuhan membantuku agar selalu mengingat mereka.
Rumah baruku adalah sebuah kompleks perumahan yang sudah lama dibangun di tanah lapang yang konon merupakan bekas milik sebuah perusahaan Belanda yang gulung tikar. Kompleks perumahan itu ramai peminatnya. Banyak sudah orang yang berbondong-bondong untuk pindah pindah ke sana. Malahan, akhir-akhir ini, semakin banyak orang yang pindah ke sana hanya untuk terhindar dari penyakit yang begitu ganas.
Kabarnya, dengan pindah ke sana, seseorang menjadi lebih sulit terpapar penyakit. Mengetahui kabar semacam itu, aku langsung tancap gas memesan salah satu rumah di kompleks perumahan itu. Aku sangat senang begitu mendengar kabar bahwa sebuah rumah sudah siap huni sampai ke telingaku. Aku tidak perlu hidup dalam rasa was-was lagi di bawah bayang-bayang penyakit.
Aku dan iring-iringan para tetanggaku yang baik hati itu telah sampai. Rumah itu memang tidak terlalu luas, jadi hanya beberapa saja yang dapat singgah ke dalam untuk melihat-lihat isinya. Selebihnya, para tetanggaku yang baik hati itu duduk di luar.
Mereka menikmati suasana kompleks perumahan yang asri itu. Banyak pepohonan yang tumbuh di sana dan menaungi rumah-rumah di kompleks perumahan itu sehingga terlindung dari sinar terik matahari. Ketika angin berembus, suasana di kompleks perumahan itu benar-benar menjadi sejuk.
Setelah duduk-duduk beberapa lama, mereka pun izin untuk pulang kembali ke rumah masing-masing. Satu per satu dari mereka terlihat menjauh dari rumah baruku. Sebelumnya, seorang tetanggaku yang telah memberiku pakaian baru tadi berpesan kepadaku.
“Nanti akan ada dua orang tamu yang mengunjungi Anda. Mereka petugas di kompleks perumahan ini. Setelah mereka mendatangi Anda, Anda akan dinyatakan secara resmi menjadi penduduk di kompleks perumahan ini,” katanya.
“Oh, begitu?” Jawabku, “Baiklah. Terima kasih atas informasinya.”
“Kalau begitu, sampai jumpa lagi,” katanya. Kemudian, dia berjalan menjauh dari rumahku.
“Sampai jumpa lagi,” balasku kepadanya. “Aku tidak akan melupakan kebaikan-kebaikan Anda.”
Sekarang, aku sendirian di rumah baruku.
Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya di kompleks perumahan ini tidak begitu jauh. Jadi, aku bisa sedikit mendengar suara-suara yang terdapat di rumah-rumah para tetanggaku yang baru. Beberapa memang begitu hening. Tapi ada juga yang tertawa-tawa dan bercakap-cakap dengan seseorang; mungkin dia sedang bercakap-cakap melalui telepon.
Zaman memang sudah sangat canggih. Jarak bukan lagi sebuah masalah. Tapi ada juga yang terdengar tengah menangis sesenggukan. Mungkin mereka tidak tahan dengan kesepian. Atau mungkin mereka merasa kesal karena orang-orang di tempatnya yang lama tidak pernah menghubunginya lagi sebagaimana beberapa orang yang lain. Terakhir, ada juga terdengar suara rintihan minta ampun.
Aku ingin menengoknya. Kalau bisa, aku ingin menolongnya untuk mengatasi rasa sakitnya. Tapi aku teringat bahwa tidak semua maksud baik diterima oleh pihak lain. Terkadang, kita yang bermaksud baik malah dianggap mengganggu oleh orang yang hendak kita tolong.
“Urus saja urusanmu sendiri,” mungkin hal semacam itu yang akan kita dengar. Lagi pula, aku adalah warga baru di sini. Kedatanganku belum sepenuhnya resmi sebelum kedua tamuku yang merupakan petugas kompleks perumahan ini datang berkunjung ke rumah baruku ini.
Hari masih cerah. Kalau tidak salah mengira, matahari sudah berada di puncak. Aku sama sekali belum merasa lapar. Aku pun hanya mengisi waktuku sambil berbaring saja.
Sambil berbaring, aku mengingat-ingat masa laluku di tempat lamaku. Di tempat lamaku, aku akrab dengan para tetanggaku. Kami sering berkumpul di pos ronda untuk berjaga atau sekadar bermain permainan kartu, tentu dengan taruhan uang yang tidak begitu besar nominalnya agar permainan menjadi lebih serius dan menegangkan.
Ketika suara tarkim dari corong masjid berbunyi, kami membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Pengalaman semacam itu mungkin tidak bisa terulang lagi. Rasanya juga mustahil untuk melakukannya di kompleks perumahan ini karena di sini sudah beberapa petugas diperkerjakan untuk mengawasi. Jadi, kami bisa lebih tenang ketika beristirahat, tanpa takut rumah kami dibobol maling.
Meskipun ada petugas jaga, bukan berarti rumah-rumah di kompleks perumahan ini benar-benar aman. Aku pernah mendengar bahwa di beberapa kompleks perumahan yang lain sering terjadi pencurian. Yang dicuri selalu saja pakaian para penghuni rumah.
Kami bisa melaporkan hal itu dan pihak berwajib bisa melakukan tugasnya; tetapi, berdasarkan kebanyakan kasus yang terjadi, pakaian-pakaian itu tidak pernah kembali. Si pemilik pun tidak punya pilihan lain selain mengikhlaskannya. Aku mengenang masa lalu sampai hari gelap.
Saat bulan bersinar terang itulah, pintu rumahku diketuk. Aku menduga, itu adalah tamu yang dimaksud oleh salah seorang tetanggaku yang baik hati tadi.
“Sebentar.” Kubuka pintu dan melihat dua orang berpenampilan aneh berdiri di depanku. Dua orang itu yang satu bertubuh tinggi dan yang satu lagi bertubuh pendek. Aku pernah ingat ada masanya orang-orang mengenakan kostum mengerikan dalam sebuah festival. Kalau tidak salah, namanya Halloween. Tapi, kurasa, orang-orang di tempat ini tidak akan merayakan hal semacam itu.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku.
“Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan,” kata yang pendek, suaranya kalem.
“Ah, kalian petugas yang dimaksud tetangga saya yang baik hati tadi.”
Kemudian, dia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Aku merasa aneh dengan pertanyaan itu.
“Maaf?” Aku harap, mereka bersedia mengulangi pertanyaannya.
Si pendek mengulangi pertanyaannya. Tapi, tetap saja, aku merasa aneh dengan pertanyaan itu. Bukan aku tidak mengerti bahasa yang digunakannya. Aku dan mereka menggunakan bahasa komunikasi yang sama. Kami sama-sama mengerti. Aku pernah tahu hal semacam itu, tapi sekarang sedang lupa.
Jadi, aku menyuruhnya untuk mengulangi pertanyaan itu sekali lagi sembari aku mengingat-ingat jawabannya. Tapi si tinggi terlihat sudah tidak sabar denganku. Dia langsung mencengkeramku dengan jari-jarinya yang terlihat kotor dan berlendir itu. Panas, kulitnya yang menyentuh leherku sangat panas. Sambil mencengkeram leherku, dia mengajukan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan si pendek, tetapi dengan nada yang keras dan memekakkan telinga.
“Maaf, saya tidak ingat. Bisa beri saya waktu untuk mengingat-ingatnya?”
Dia tidak puas dengan jawabanku. Jadi, dia mengeluarkan cambuk yang menyala merah dan mencambukkannya ke tubuhku. Aku memekik dengan keras, seperti pekikan rasa sakit dari tetanggaku yang kudengar tadi siang. Si tinggi menyodorkan pertanyaan yang sama sekali lagi. Tapi, berapa kali pun pertanyaan itu diajukan, aku sama sekali tidak bisa mengingat jawabannya. Jadi, aku menggeleng sekali lagi. Seperti gelenganku yang berulang kali, cambuk itu juga menderaku berulang kali. Berulang kali juga aku memekik kesakitan.[]
[Editor: M. Naufal Waliyuddin]