Kepada Suli aku bersumpah
Kepada Suli aku berjanji
Kepada Suli aku bercerita
“Apakah kamu pernah membayangkan sebuah gunung merapi dengan kaldera yang besar, memiliki hutan rimba yang hijau, setiap menjelang petang kabut turun memeluk siapa saja yang tinggal di sana, dan setiap pagi kabut itu menjelma menjadi permadani putih menutupi telaga?” Tanya Sali kepada adiknya Suli.
“Orang-orang desa menghantarkan sajian sambil menari-nari di bibir telaga untuk persembahan Dewa Matahari, anak kecil berlari-lari sambil sesekali mencuri sajian. Dewa tidak pernah marah, Ia hanya menyeringai tingkah lucu anak-anak.” Tambah Suli dengan segenap perandaian di benaknya.
“Sungguh indah sekali rasanya, terima kasih kak, untuk menjadi mataku melihat. Membantuku menikmati pemandangan lewat cerita yang kau tutur. Aku yakin, suatu saat Dewa baik hati itu akan biarkan aku melihat apa yang kau lihat kak.” sambil tersenyum kepada kakaknya Sali.
“Aku yakin dik, Dewa akan menyembuhkanmu yang baik budi. Pun jika tidak, aku akan terus menjadi matamu. Bercerita soal bumi” Sali terisak memeluk Suli.
Sali dan Suli tinggal berdua di desa Aksa di lereng gunung Mega. Mereka hidup sebatang kara, tak pernah tahu siapa orang tua yang melahirkannya. Setiap hari Sali pergi ke kota untuk mencari uang; mulai menjadi kuli panggul, tukang semir sepatu, menjaga toko pernah ia lakoni. Sepulang mencari uang, ia mendatangi para penjelajah yang baru saja turun dari gunung Mega. Mendengarkan kisah serunya berpetualang di alam bebas, menikmati segala keindahan dunia dari atas gunung, melihat apa yang tidak bisa dilihat, merasakan sentuhan kabut yang syahdu tanpa pamrih menghampiri. Sedang sang adik, Suli selalu setia menunggu kakaknya di teras halaman dengan gembira. Karena setiap petang selalu ada kisah yang ia dengar, mulai dari penggambaran senja yang tenggelam di ujung lautan dengan siluet kapal nelayan pulang membawa ikan yang melimpah, sampai lautan awan yang serba putih seperti kapas menyelimuti langit.
Suatu hari ada seorang kakek menghampiri Suli, kemudian berkata:
“Suruh lah kakakmu membawamu ke balik gunung mega, di sana ada telaga kehidupan. Lalu basuh lah wajahmu di telaga itu”.
Suli mengangguk pelan, mengisyaratkan bahwa ia akan menyampaikan apa yang diucapkan dari kakek itu kepada kakaknya Sali. Seorang kakek dengan pakaian serba putih hilang bersama hembusan lembut angin utara. Tak lama setelah kepergian kakek itu, Sali datang dengan berlari kecil gembira menghampiri adiknya, ia tak sabar untuk bercerita.
“Kau tahu dik? Aku mendapatkan cerita tentang apa yang telah kita bayangkan sebelumnya!! Ini cerita tentang petualangan gunung Mega!!” Kata Sali dengan sangat antusias kepada adiknya.
Adiknya tersenyum lebar, kemudian memeluk Sali dengan penuh bahagia. Sali menceritakan dengan penuh penghayatan, tak sedikitpun ia lewatkan cerita yang ia dapatkan dari para penjelajah. Selesai bercerita, Suli meneteskan air mata dan berkata,
“Ceritamu selalu indah memukau, aku selalu ingin mendengar ceritamu. Aku selalu kagum dengan senja dalam gambaran ceritamu yang begitu indah, padahal aku tak pernah melihat bagaimanakah bentuk senja dalam ceritamu. Tapi aku bisa merasakan segala kehangatannya dalam ceritamu.”
“Beberapa menit yang lalu sebelum kedatangan kakak, ada seseorang yang menghampiriku. Suaranya parau, sepertinya sudah tua. Ia berkata padaku supaya kau membawaku ke balik gunung Mega, katanya di sana ada sebuah telaga kehidupan. Dan ia menyuruhku untuk membasuh muka di sana.”
Setelah adiknya berkata seperti itu, Sali teringat dengan salah satu mimpinya yang di mana ada seorang wanita cantik jelita dengan berpakaian kerajaan menuntunnya sampai ke sebuah telaga. Wanita itu menari-nari di tengah telaga yang bermandikan cahaya rembulan kemudian menghilang ditelan kabut malam.
“Kak apa kau baik-baik saja?” Tanya Suli memecah lamunan Sali.
“Aku baik-baik saja dik. Kalau begitu, besok kita berangkat ke sana. Ke telaga kehidupan”. Jawab Sali dengan mantap.
Cahaya merah mulai terbentang di ufuk timur dibarengi dengan bait demi bait kokokan ayam, dan segerombolan burung merak melintasi mega merah, sepertinya berangkat mencari makan. Sali menjeram teh sambil mempersiapkan segala hal untuk keberangkatannya hari ini ke gunung Mega. Sedang adiknya Suli masih terlelap dalam dekapan mimpi. Sali berdiri terpaku di pintu kamar adiknya. Memandang iba adiknya yang tersenyum dengan mata masih terpejam. Mungkin ia sedang bermimpi di mana ia bisa melihat segala hal tentang dunia ini.
“Semoga hari ini adalah hari terakhir dari riwayat kisah Putri cantik yang buta dan awal dari kisah Putri cantik pemilik bola mata yang indah”. Gumamnya sambil membangunkan adiknya dari mimpi panjangnya.
Hari ini cuaca cerah, hari yang bagus untuk melakukan sebuah perjalanan. Terlihat jelas di kejauhan sana, gunung Mega yang gagah nan indah bertopi awan lenticular, memiliki vegetasi hutan yang lebat, di kaki gunungnya terhampar kebun teh hijau sejauh mata memandang. Sali menggandeng erat tangan adiknya seakan tidak akan pernah dilepaskannya sedikit pun. Ini adalah perjalanan hidup mereka. Seseorang memang harus melakukan perjalanan hidup agar tetap hidup. Walaupun kehidupan adalah sesuatu yang fana. Tapi bagaimana kita memberikan makna terhadap kehidupan yang fana menjadi keabadian adalah dengan cara tetap berjalan meniti kehidupan lebih berarti.
Beberapa jam yang lalu, mereka sudah melewati hamparan kebun teh. Di hadapan mereka sekarang adalah pintu rimba, pintu awal dimulainya sebuah petualangan.
“Kita telah tiba di pintu rimba, dik! Gerbang awal petualangan sesungguhnya baru dimulai!”. Sambil menengadah kagum melihat pohon-pohon yang menjulang tinggi menghalangi cahaya matahari masuk.
Suli hanya tersenyum bahagia, baru pertama kali ia menghirup bau tanah yang belum pernah ia hirup, merasakan udara sejuk menerpa tubuhnya yang belum pernah ia rasa.
“Begitu menenangkannya berada di sini” tanpa sadar Suli melontarkan kata.
Perlahan mereka menyusuri jalan setapak demi setapak, menaiki dan menuruni pegunungan demi pegunungan. Sesekali melepas dahaga dari mata air di tepian jalur, sesekali juga mereka bersenda gurau melebur dengan kicauan burung-burung. Tak terasa mereka sudah sampai di padang savana indah yang belum pernah mereka lihat, terlihat beberapa kijang berlarian, kupu-kupu mengelilingi bunga daisy yang bermekaran di musim semi. Sali berpikir untuk mendirikan tenda di sini. Karena hari sudah gelap, kabut mulai turun perlahan menyapa siapa saja yang ada di padang savana itu, dan matahari mulai kembali ke pelukan tebing-tebing.
Hari masih gelap, hanya cahaya bulan dan bintang gemintang yang bertengger di atap langit. Dinginnya subuh tak membuat Sali dan adiknya mengurungkan niat melanjutkan perjalanan. Dengan sedikit tergopoh-gopoh ia menggendong adiknya dengan petromak yang digenggamnya. Hanya cahaya dari petromak dan bulan yang menuntun mereka berjalan. Subuh kali ini sangatlah sunyi, hanya irama derap langkah dan suara nafas mereka.
Sampai di batas vegetasi hutan mereka beristirahat sejenak. Tak ada maksud sedikit pun Sali membangunkan adiknya, ia sandarkan adiknya ke sebuah pohon dengan sangat hati-hati kemudian ia kecupnya Suli dengan penuh kasih sayang.
“Di mana kita sekarang kak?” Tanya Suli, membangunkan kakaknya dari lamunan.
“Kita sudah di batas vegetasi hutan dik, sebentar lagi terbit fajar. Kita harus bergegas sampai di puncak ketika mega berwarna merah, kabut perlahan menipis menampakkan sebuah permukiman, lalu-lalang kendaraan yang terlihat seperti gerombolan kunang-kunang di tepian danau”.
Dengan susah payah mereka sampai di puncak ketika mega mulai berwarna emas, awan-awan yang berada di dekatnya tersepuh, permadani putih terbentang di bawahnya. Sali menarik nafas panjang, matanya berbinar terkagum melihat apa yang belum pernah dilihat. Sinar fajar menghangatkan tubuh mereka dan hembusan angin subuh menerpa masuk menyejukkan seluruh lekuk tubuh mereka. Sali berlutut di hadapan adiknya dan membelai rambutnya.
“Dik kau tahu? Tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain senyuman tulus terlukis di wajahmu. Pertama kali aku melihat fajar dalam setiap cerita yang pernah kudengar dan kuceritakan padamu. Dan aku bersumpah, senyum milikmu yang terindah yang pernah kulihat”. Berlinang air mata Sali membasahi pipinya.
Siluet terindah sepanjang masa adalah ketika Sali berlutut memeluk adiknya Suli di atas puncak mega dengan fajar merah dan lautan awan yang membentang di bawahnya.
Cukup lama mereka berdiam diri menghadap timur. Memandang segala penjuru dari atas membuatnya ingin berlama-lama di sana. Kemudian pandangannya tertuju ke arah utara, dilihatnya sebuah telaga yang indah diapit dua pasang bukit yang tidak terlalu jauh menuruni puncak gunung.
“Mungkin itulah yang disebut telaga kehidupan”. Gumam Sali.
“Dik, kita hampir sampai tujuan. Kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah mulai tinggi”. Kata Sali dengan penuh semangat baru.
Dengan penuh kehati-hatian mereka menuruni gunung. Trek yang begitu terjal didominasi dengan batuan cadas dan pasir, debu pasir berterbangan ketika kaki melangkah. Dengan kokohnya, Sali menggendong adiknya menuruni gunung perlahan tapi pasti. Sampai di mana mereka di tengah hutan pinus, Sali melepaskan adiknya dari gendongan kemudian menuntunnya.
“Sekarang kita berada di tengah hutan pinus dik. Peganglah dan rasakan dinginnya batang pohon pinus ini”. Sambil menuntun tangan adiknya menyentuh batang pohon itu.
Pohon pinus terhuyung angin utara, gemuruh melodi dedaunan terdengar syahdu pagi itu, monyet bergelantungan ke sana-kemari mengikuti suara angin menjadikan sebuah simfoni alam yang menenangkan.
“Aku merasa pohon yang kusentuh tadi tersenyum menyapa kedatangan kita”. Kata Suli dengan tersenyum.
“Alam ini menyukaimu dik, seperti sudah lama menunggu kedatanganmu”. Balas Sali dengan tersenyum menatap lugunya Suli.
Suara gemuruh air menerpa tepian terdengar tidak jauh dari mereka. Kilauan cahaya matahari menerobos masuk diujung jalan sana. Sambil berlari kecil mereka mendekati sumber cahaya tersebut. Setelah keluar dari hutan pinus, Sali menghentikan langkahnya dan tercengang dengan apa yang ia lihat. Beberapa kali ia tampar pipinya, memastikan ini bukanlah sebuah mimpi. Ia yakin bahwa hari ini belum memasuki siang apalagi sore. Tapi senja sudah bertengger manis menyepuh telaga menjadi keemas-emasan. Ia berjalan pelan menuntun adiknya sampai di tepian telaga dengan tatapan yang penuh pertanyaan sampai . Ia basuhnya wajah Suli dengan lembut dan penuh kasih sayang. Perlahan Suli membuka matanya, ia rasakan cahaya masuk memenuhi matanya. Berlinang air matanya membasahi pipi ketika sempurna matanya terbuka. Tak ada kata yang terucap, mereka menikmati senja di atas telaga bersama. Suli menggandeng tangan kakaknya dengan erat, sekarang ia tahu bentuk senja dalam cerita kakaknya, ia tahu apa yang ia bayangkan dulu bersama kakaknya, dan ia tahu kakaknya adalah pendongeng terbaik dalam hidupnya.

“Sekarang kau bisa melihat senja yang tak pernah tenggelam dik. Senja ini akan selalu ada untukmu, tak akan pernah pergi dari penglihatanmu”.
Pada akhirnya mereka terus berdiri di sana. Menikmati segala anugerah yang diberikan tuhan. Tujuan dari sebuah perjalanan adalah pulang. Dan mereka sudah sampai tujuan mereka. Sali dan Suli sudah kembali pulang.