“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi ada empat bocah yang akan aku khitan di kampung sebelah. Tadi pagi ayah salah satu dari mereka kemari. Sekadar untuk mengingatkan kembali,” lanjut dukun sunat itu. Dia senang karena zaman ini masih ada orang-orang yang memilih suna mbojo[1]. Ya, walaupun jumlahnya masih bisa dihitung dengan ingatan.
Awalnya ia ragu apakah guru Hami akan tetap melanjutkan rencana untuk mengkhitan putra semata wayangnya secara tradisional. Soalnya baru-baru ini beredar surat dari Dinas Kesehatan agar suna mbojo tak direkomendasikan lagi. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari kesehatan, psikis si anak, dan satu atau dua alasan lagi. Tapi kehadiran guru Hami pagi tadi membuktikan bahwa ia tidak berubah pikiran.
Zaman telah berubah. Dulu orang-orang di Bima dan Dompu hanya mengandalkan suna mbojo jika ingin mengkhitan buah hati mereka. Selain merawat dan melanjutkan tradisi, pengalaman ini juga diyakini sebagai bagian dari menancapkan spirit hidup orang Bima Dompu sebagai pemberani.
Dae la One dan istrinya sendiri kini hidup dalam himpitan ekonomi. Hutang di kios tetangga makin hari makin membengkak. Mereka dan dua orang anaknya tak punya banyak pilihan untuk menikmati hidup. Biaya untuk membeli perlengkapan gerak jalan dua anaknya Agustus tahun lalu pun masih belum dibayar tuntas. Praktis tahun ini mereka tak bisa ikut gerak jalan karena tak mampu beli seragam baru.
Harapan untuk menikmati kemerdekaan hanya ada jika sekali-sekali ada yang memakai jasanya. Jika tidak, maka Dae la One kerja serabutan. Dan baginya, kehadiran sunat modern akhir-akhir ini telah merampas semangat hidupnya. Waktu berlalu dan para orang tua peminat suna mbojo jumlahnya berkurang dan semakin berkurang.
***
“Zubaeda, sudah kularang kau merubah rencana awal kita. Dengarkan aku, ini bukan soal khitan semata, ini soal mewarisi tradisi!”
Guru Hami terlibat cekcok dengan istrinya pada sebuah pagi.
“Tapi sunat laser dengan Dokter Ayat itu prosesnya cepat, Dae. Lagian anak kita juga tak’kan merasakan sakit.” ibu Zubaedah bersuara sembari menuangkan kopi ke dalam cangkir.
“Kita tak harus sama dengan orang kebanyakan. Jangan suka ikut-ikutan, Kamu.” Timpa guru Hami.
Suna mbojo atau khitanan secara tradisional pada prosesnya memang berbeda dengan khitan dengan cara modern hari ini. Mulai dari perlengkapan yang digunakan hingga tindakan yang dilakukan. Ujung burung dijepit dengan bambu lalu diiris dengan pisau. Ngeri, bukan?
Di Bima maupun Dompu hari ini tengah membanjir khitan ala masyarakat modern yang serba kilat itu. Orang-orang kota banyak yang beralih ke cara modern. Selain karena proses penyembuhan yang relatif cepat, sunat laser–misalnya–juga minim sakit. Anak usia empat atau lima bulan pun sudah bisa disunat.
“Sunat laser itu bagus. Si Arif anaknya Pak Hidayat tetangga kita juga sunat laser. Ibunya Arif cerita dengan laser itu aman. Tidak ada darah yang tumpah. Tidak ada pembengkakan juga,” ibu Zubaidah berusaha menyakinkan guru Hami agar berubah pikiran. “Si Arif dulu itu, pagi di sunat laser, siangan sudah langsung pakai celana, “ timpanya tak lama kemudian.
“Tidak, Zubaeda, biaya sunat laser jauh lebih mahal. Kalau anak kita disunat oleh Dae la One, hitung-hitung kita kasih kerjaan untuk laki-laki tua itu,” guru Hima kembali menyesap sisa kopi yang merangkak dingin. Guru Hima mengerti betul bahwa sejak orang-orang banyak yang beralih ke sunat modern, laki-laki itu kehilangan lahan meraup rupiah, bahkan untuk sekadar menyambung hidup. Cita-cita untuk hidup tenang di usia senja ditebas oleh kenyataan.
“Begini saja, kita tunda dulu sambil meminta juga pendapat dari saudara-saudara ita[2], maupun saudara-saudara mada[3],”
Dua hari kemudian, dengan berat hati guru Hami datang ke rumah Dae la One untuk membawa kabar buruk. Khitanan putranya ditunda sampai keluarga itu memperoleh masukan dari keluarga besarnya. Dae la One hanya bisa pasrah. Lelaki tua itu seolah dipermainkan nasib. Sehari kemudian, orang tua dari anak-anak yang lain juga mengambil pilihan serupa dengan guru Hami. Mungkin mereka telah mendengar cerita dari mulut ke mulut gesit milik para warga.
Keadaan ekonomi keluarga Dae la One kian melelahkan. Dua anak mereka persis takkan ikut gerak jalan tahun ini. Sementara hampir setiap hari teman-teman sekolahnya dengan penuh semangat berlatih gerak jalan. Anak-anak sekolah berteriak merdeka dengan mata bersinar bangga.
***
Dae la One membunuh waktu dengan menunggu kabar dari guru Hami. Seminggu dua minggu tak muncul-muncul. Hidup memang harus terus berlanjut. Dan tak lama berselang, persisnya seminggu kemudian, Dae la One pamit sama istrinya Maemunah dan kedua buah cinta mereka. Lelaki itu tampak bahagia dan berseri-seri. Ia bilang pada istrinya bahwa akan ada orang yang memakai jasanya di kampung seberang. Ia akan bermalam di sana seminggu atau lebih.
Sang istri mengiyakan, karena kalau harus pulang pergi, ia merasa kasihan juga sama suaminya, mengingat kampung seberang itu jauh.
Dua hari tiga hari tak terbit kabar dari Dae la One. Tapi ibu Maemunah masih ikhlas menanti. Hingga pada suatu sore, suaminya pulang dengan membawa sejumlah uang.
“Aku bangga dengan orang-orang di kampung itu, masih banyak yang memilih sunat tradisional, suamimu ini jadi primadona di sana,” Dae la One dengan semangat empat-lima dan setengah bercanda di depan istrinya. Keesokan harinya ia berangkat lagi untuk memenuhi janji yang telah dibuat, katanya. Kemudian pulang lagi beberapa hari setelah itu. Membawa uang sekaligus kebahagiaan bagi keluarga kecilnya. Lalu pergi lagi untuk urusan dan alasan yang masih mirip.
Tepat hari ini, sebulan tak ada kabar berita. Hingga akhirnya dua orang aparat tanpa seragam mendatangi rumah laki-laki itu. Ibu Maemunah dan dua anak mereka terpukul oleh kenyataan di depan hidung. Sang suami terlibat judi bola di arena pacuan kuda di kampung seberang beberapa minggu terakhir. Dan kini harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Ibu Maemunah murung. Tak tahu harus bilang apa. Sementara dari kejauhan, seperti hari-hari sebelumnya, masih terdengar suara anak-anak sekolah yang berteriak, “Merdeka!”[]
________________________________________
Daftar Catatan:
[1] Khitan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Bima dan Dompu.
[2] Anda, (orang yang dituakan)
[3] saya