Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk di sofa sambil scrolling media sosial. Hingga sekitar pukul 2 dini hari, saya melihat banyak sekali akun yang memposting wajah Ozzy Osbourne. Saya kira itu adalah berita kelanjutan dari konser perpisahannya yang dilaksanakan beberapa hari yang lalu. Sejenak gembira. Namun, saya salah. Usai membaca captionnya lebih cermat, saya baru menyadari itu adalah berita duka.
Bagi saya, berita itu cukup memukul. Pertama, saya baru saja menyelesaikan sebuah artikel tentang musik metal yang dari sana saya jadi tahu peran sentral Black Sabbath dan Ozzy Osbourne dalam berkibarnya genre musik metal. Bersama Led Zeppelin, mereka seperti “peletak fondasi” musik metal di seluruh dunia. Pengaruh Ozzy seolah tak lekang dimakan waktu walaupun musik metal telah berkembang dan melahirkan bermacam-macam subgenre. Setelah tulisan ini terbit, rasa kagum saya terhadap Ozzy Osbourne semakin bertambah.
Kedua, berita tentang konser perpisahannya yang dilaksanakan di Villa Park. Kandang tim sepak bola Aston Villa itu sekaligus tempat yang sangat dekat dengan awal terbentuknya band Black Sabbath. Selain cukup emosional dan sentimental, konser itu seperti sebuah komitmen Ozzy Osbourne terhadap heavy metal. Sebaliknya, antusiasme penonton dari berbagai generasi yang memenuhi konser bertajuk Back to The Beginning itu menegaskan posisi Ozzy Osbourne sebagai ikon metal sepanjang masa. Dan ironisnya saya hanya bisa melihat cuplikan-cuplikannya di berbagai akun media sosial dan belum berhasil menemukan video utuh dari konser tersebut.
Sayang sekali, berita kematian itu ternyata datang lebih cepat daripada usaha saya untuk dapat menonton konser terakhir Prince of Darkness tersebut. Sebuah kenyataan pahit yang saya alami secara tiba-tiba. Pada hari kematiannya, saya hanya membagikan ulang beberapa unggahan dukacita dari berbagai akun Instagram sambil menuliskan “Perfect Farewell, Goodbye Ozzy Osbourne…” sambil sedikit menangis karena kehilangan satu lagi ikon musik rock yang sedikit banyak mempengaruhi hidup saya.
Osbourne dalam Ingatan Saya
Sebagai penggemar musik rock sejak kecil, saya pastinya tak asing dengan nama Ozzy Osbourne. Hanya saja, kalau boleh jujur, saya baru benar-benat “mengikuti” Ozzy Osbourne sewaktu SMA. Saat itu kanal musik MTV menayangkan The Osbournes, sebuah reality show yang menyorot kehidupan sehari-hari keluarga Ozzy Osbourne. Dari acara inilah kesenjangan usia saya dengan Ozzy teratasi. Saya bisa melihat Ozzy dan keluarganya lebih dekat.
Pada waktu yang bersamaan, beberapa lagu dari Ozzy Osbourne ataupun Black Sabbath mulai sering diputar di MTV. Dari situ, ingatan saya kembali ke era ayah saya masih sering memutar kaset-kaset pita koleksinya pada saat saya SD. Kala itu satu dua lagu Ozzy Osbourne dan Black Sabbath terdengar walaupun waktu itu belum tahu itu lagu siapa dan judulnya apa. Satu yang teridentifikasi sangat familier dalam telinga saya adalah Changes, single bercorak balada yang terangkum dalam album “Black Sabbath Vol. 4” (1972).
Di waktu yang belum jauh juga, anak perempuan Ozzy, Kelly Osbourne, mulai meniti karir di panggung musik. Walaupun waktu itu lagu-lagunya lebih dekat ke pop punk ala Avril Lavigne daripada metal, spirit ayahnya tidak benar-benar hilang dari dirinya. Hal itu ditegaskan dalam video klip single pertamanya, Shut Up, ada scene Kelly menggigit permen coklat berbentuk kelelawar. Itu mengingatkan kita pada insiden ketika Ozzy Osbourne tidak sengaja menggigit bangkai kelelawar di atas panggung yang dikiranya sebuah mainan pada sebuah konsernya di Iowa tahun 1982. Kelly juga merilis single terkenal milik ayahnya yaitu Changes pada tahun 2003.
Jejak Musikalitas Ozzy
Mengenal musik heavy metal melalui Sepultura, Iron Maiden, dan Napalm Death membuat saya mau tidak mau dekat dengan Ozzy Osbourne–walaupun bukan fans berat. Semua personel Sepultura sangat nge-fans Black Sabbath dan Ozzy Osbourne. Bahkan pada tahun 1994 Sepultura ikut meramaikan album “Nativity in Black: A Tribute to Black Sabbath”. Dalam album kompilasi itu Sepultura membawakan Symthom of the Universe, lagu dari Black Sabbath yang dirilis pada tahun 1975.
Iron Maiden pun sangat terpengaruh oleh Black sabbath dan terlihat pada karya-karyanya. Dalam wawancaranya dengan media Consequence, Steve Harris, basis Iron Maiden mengakui bahwa ia mendengarkan Black Sabbath saat ia masih sekolah. Ia bahkan menganggap album Paranoid (1970) yang membuatnya ingin bermain musik. Selain itu, vokalis Iron Maiden, Bruce Dickinson, bersama Godspeed pada tahun 1994 juga pernah meng-cover Sabbath Bloody Sabbath, lagu Black Sabbath tahun 1973 yang diambil dari album dengan judul yang sama.
Sementara band grind metal Napalm Death adalah band asal kota Birmingham, kota kelas pekerja sekaligus tempat lahir Ozzy Osbourne dan band Black Sabbath. Kesamaan letak geografis, lingkungan sosial, dan juga kondisi politik membuat mereka mempunyai semangat yang sama dalam berkarya. Di samping “Jailbreak” (Thin Lizzy) dan “Killing Machine” (Judas Priest), album metal yang paling mempengaruhi musikalitas Shane Embury, bassist Napalm Death, adalah “Never Say Die” (Black Sabbath). Sang vokalis, Barney Greenway, juga sangat bangga dengan akar Birminghamnya sehingga ia merasa dekat secara batin dengan Tony Iommi, Bill Ward, dan tentu saja Ozzy Osbourne.
Dua band Nu Metal yang saya kenal yaitu Korn dan Slipknot ternyata juga mengakui kedekatan musikalitasnya dengan Black Sabbath. Core Taylor menganggap Black Sabbath adalah cetak biru dari pembentukan band Slipknot. Sedangkan vokalis Korn Jonathan Davis menganggap Black Sabbath membantu menciptakan musik heavy metal. Ia sudah familier dengan Ozzy Osbourne sejak usia 13 tahun melalui saluran televisi. Saking akrabnya, ia bisa mengenali suara Ozzy Osbourne hanya dua detik setelah ia mendengarnya.
Belum lagi beberapa musisi idola saya yang ikut meramaikan konser perpisahannya yang disaksikan 40.000 heaadbanger dari seluruh dunia. Di jajaran penampil ada Tom Morello (Rage Against The Machine), Billy Corgan (Smashing Pumkins), Steven Tyler (Aerosmith), Fred Durst (Limp Bizkit), Chad Smith (Red Hot Chilli Peppers), Travis Barker (Blink 182), dan band yang hadir secara penuh seperti Pantera, Lamb of God, Slayer, Tool, Guns N’ Roses dan Metallica. Sebuah panggung metal termegah yang pernah ada di abad ini!
Pada lagu terakhir yang dibawakan Ozzy Osbourne malam hari itu, Mamma, I’m Coming Home, banyak penonton yang meneteskan air mata. Mereka seolah berat hati untuk melepas sang legenda yang berjasa besar membukakakn jalan bagi band-band di era setelahnya dalam satu rumah yang bernama metal. Namun Ozzy lebih tahu kapan dan bagaimana cara terbaik mengucapkan perpisahan pada semua yang mencintainya. Lewat berbagai platform, momen itu benar-benar menjadi salam terakhir “Sang Pangeran Kegelapan” pada gemerlap panggung dunia. Perfect Farewell, Goodbye Ozzy Osbourne…[]