Modernisme Barat adalah masa yang sangat berbeda bagi masyarakat Islam, setelah pada masa sebelumnya selalu ada keterkaitan yang masih bisa berimbang antara kebudayaan Barat dan Islam semenjak masa yang oleh W. Montgomery sebut dengan gelombang pertama dan kedua Hellenisme (W. Montgomery Watt:1985). Hal itu terjadi lantaran hubungan keduanya yang hanya berada pada ranah intelektual berubah di abad ke-19, Barat berkembang sangat meluas pada aspek perdagangan, keuangan, dan juga hiburan. Kabar buruknya, perkembangan Barat ini sudah sangat telat disadari oleh kalangan terpelajar Islam. Sehingga membuat mereka seolah diletakkan dalam dunia yang begitu asing seperti sistem keuangan internasional, pemutaran film, dan hasil pengetahuan baru dalam buku-buku Barat. Keadaan yang menghempas masyarakat Islam dari arena pertandingan dunia inilah yang kemudian melahirkan tokoh bernama Jamaluddin al-Afghani.
Sekitar satu setengah lebih abad yang lalu tepatnya tahun 1838-39 M. seorang anak bernama Jamaluddin mengawali kehidupannya di dunia (Nikki R. Kiddie:1972). Tokoh yang dikenal dengan nama Jamaluddin al-Afghani ini merupakan putra dari Sayyid Safdar al-Husainiyyah, salah satu orang yang memiliki hubungan darah sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib (Akmal Hawi:2017). Untuk tempat di mana Afghani lahir masih terdapat beberapa perbedaan pendapat, antara Afganistan yang kemudian menjadi bagian dari nama mashurnya atau di Asadabad, Iran.
Masa kecil Jamaluddin al-Afghani sudah dimulai dengan pendidikan pribadi oleh ayahnya berkisar umur lima sampai sepuluh tahun. Dari pengakuan Lutfallah, keponakan Jamaluddin al-Afghani yang dikutip oleh Nikki R. Kiddie, Jamaluddin al-Afghani sedari kecil sudah sangat kuat keinginannya dalam mempelajari sesuatu dan tergolong cepat memahami apa yang ia pelajari. Seperti kisahnya yang mampu menjelaskan makna yang tersirat dalam al-Qur’an kepada saudara-saudaranya ketika masih kanak-kanak.
Menjejaki usia remaja, tepatnya di umur delapan belas tahun al-Afghani menetap di India. Dengan perkembangan pengetahuan yang berbeda dari sebelumnya tentunya. Ia mempelajari banyak hal dalam studi islam, seperti tata bahasa, filologi, retorika, sejarah islam, teologi, filsafat, hingga matematika dan fisika secara praktis. Di sinilah al-Afghani juga mulai berkenalan dengan tradisi Barat dan mempelajarinya.
Berbeda dengan kebanyakan umat muslim, Al-Afghani tidak pernah menutup diri dan menolak prestasi yang telah ditorehkan peradaban Barat khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1882 Jamaluddin berhasil memberikan ceramah yang memukau dengan judul Lecture on Teaching and Learning, ia berbicara tentag universalitas ilmu pengetahuan yang tidak memiliki akhir dan juga batasan (Seda Unsar:2011). Pada gerakan keagamaan ini ia juga menyampaikan bahwa tidak ada reformasi kegamaan kecuali dilakukan oleh kalangan yang senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan yang rasional. Al-Afghani memulai dengan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan secara umum serta mengaitkannya dengan persoalan internal keagamaan yang mestinya tidak boleh menutup diri, seperti pada pengembangan pengetahuan yang dilakukan Barat.
Dalam karya lainnya yang berjudul Benefits of Philosophy ia kembali menyadarkan pembacanya bahwa posisi ilmu pengetahuan khususnya filsafat sangatlah penting karena ia merupakan pusat aktivitas intelektual manusia (Seda Unsar). Bila filsafat dihilangkan tentu itu juga akan menghilangkan aktivitas intelektual. Lebih lanjut ia juga mengingatkan bahwa tanpa filsafat tidak akan ada produksi pengetahuan dan tanpa produksi pengetahuan tidak akan ada kemajuan. Untuk masa itu, pemikiran Barat menyediakan banyak gagasan filsafat yang penting dan bertahan hingga saat ini.
Tapi meskipun kerapkali menerima dan memuji gagasan yang dikembangkan orang-orang Barat, bukan berarti al-Afghani tidak pernah menolaknya. Ada banyak hal yang tidak ia sepakati, seperti yang terdapat dalam karya filsafatnya yang dikenal dengan Refutation of The Materialist (Bantahan Untuk Kaum Materialis). Kitab berbahasa asli Persia itu membantah ajaran materialis Barat yang menolak adanya Tuhan.
Hal lainnya yang ia tolak adalah penjajahan, seperti saat al-Afghani berada di India. Meskipun tergolong sebentar tinggal di negri yang dikenal dengan sebutan “anak benua” tersebut, waktunya bertepatan dengan penjejahan Inggris atas negri yang mengenalkannya pada ilmu pengetahuan Barat itu. Atas kejadian ini Afghani sempat menawarkan program kerjasama internasional islam dengan Hindu untuk mengusir Inggris.
Setelah menetap sebentar di India Jamaluddin al-Afghani kembali ke Afganistan. Ia memulai babak baru dalam hidupnya. Mula-mula menjadi pembantu Dost Muhammad Khan, seorang pangeran di negara tersebut, kemudian penasehat Ali Khan, hingga menjadi perdana mentri di umurnya yang masih dua puluh tujuh tahun (Charles C. Adams:1933). Tapi karena setelah itu terus menerus terjadi perang saudara, akhirnya Jamaluddin al-Afghani memilih untuk meninggalkan Afganistan.
Perjalanannya berlanjut dari negara satu ke negara lain, dengan selalu memiliki posisi penting pemerintahan atau termasuk dalam suatu gerakan politik tertentu mereka. Saat pergi ke turki ia diangkat menjadi anggota majlis pendidikan Turki oleh Ali Pasha, dan menjadi mentri penerangan di Iran, dan di Mesir ia mengikuti perkumpulan bernama Fremazon Mesir dan akhirnya membuat partai nasional bernama al-hizb al-Wathani (Ibrahim Nasbi). Tidak berhenti disitu, ia juga menjajaki tanah Paris dan membuat perkumpulan bernama al-Urwat al-Wutsqa.
Agenda al-Afghani ini merupakan salah satu upaya untuk menyebarkan gagasannya. Memperluas pemahaman banyak orang islam tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan keterbukaan pikiran untuk mengikuti perkembangan zaman, sekaligus langkahnya untuk berhati-hati dan menolak ide-ide Barat yang tidak selalu baik. Gerakan ini biasa dikenal dengan sebutan Pan-Islam. Langkah besar yang dilakukan al-Afghani untuk menyatukan solidaritas seluruh umat muslim dalam membangun kembali peradaban Islam.
Daftar Pustaka
Hawi, Akmal, Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, Medina-Te, Vol.16, No.1, Juni 2017.
Adam, Charles, Islam And Modernism In Egypt :A Study Of The Modern Reform Movement Inaugurated By Muhammad Abduh, New York : The New York Public Library, 1933.
Nasbi, Ibrahim, Jamaluddin al-Afghani : Pan-Islamisme dan Ide Lainnya, Jurnal Diskursus Islam,
Volume 7 Nomor 1, April 2019.
Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, New York : Colombia University Press, 1893.
Tariq, Malik Mohammad, Jamal Ad-Din Afghani: A Pioneer of Islamic Modernism, The Dialogue, Volume VI Number 4, 2011.
Kiddie, Nikki, Sayyid Jamal ad-Din al-Afghani : A Political Biography, Berkeley : University of California Press, 1972.
Keddie, Nikki, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al-Din “al-Afghani”, Berkeley: University of California Press, 1968.
Unsar, Seda, On Jamal Ad-Din Al-Afghani And The 19th Century Islamic Political Thought, Gazi Üniversitesi İktisadi ve İdari Bilimler Fakültesi Dergisi, 2011.
Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh University Press, 1985.