Kepergian legenda sepak bola — Maradona — membawa kita melihat sepak bola di luar lapangan hijau. Ketika sepak bola bukan lagi tentang gocekannya Neymar, false nine-nya Fergie atau gegenpressing-nya Klopp dan lain-lain. Melainkan, ketika sepak bola lamat-lamat menyusup ke dalam dimensi kehidupan kita, menjadi bagian dari modus eksistensi kita di dunia. Mungkin terdengar berlebihan, khususnya bagi orang-orang yang melihat sepak bola dari apa yang terpampang di papan skor.
Para penonton papan skor itu tak akan mengulik bagaimana proses skor itu terjadi. Sebab yang mereka lihat hanyalah hasil, bukan permainan. Kala Argentina memenangi laga kontra Inggris dengan skor 2-1 di Piala Dunia Meksiko 1986 misalnya, oleh mereka tak akan dilihat sebagai perang taktik. Di sisi lain, bagi sebagian kita yang melihat sepak bola hanya sebagai permainan di atas lapangan hijau, akan melihat laga itu sebagai panggung Maradona dan reriuhan suporter Argentina–ketika timnas kebanggaannya merobek harapan Inggris dan para holigannya.
Tetapi bagi Maradona, dan sebagian kita yang lain, yang menyadari bahwa sepak bola bukan cuma soal skor dan euforia kemenangan, melihat ada yang lebih berarti dari sekedar itu semua. Dalam autobiografinya, Maradona menyimpulkan apa makna kemenangan Argentina lawan Inggris kala itu–yang terjadi 4 tahun berselang setelah perang antara Inggris dan Argentina di Malvina–“kemenangan kala itu terasa bagai mengganyang sebuah negara, bukan sekadar timnas sepakbola belaka.” Tulisnya, seraya menyadari bahwa sepak bola tak bisa menolong orang-orang yang dihabisi oleh Inggris di perang Malvina saat itu.
Dengan segera kalimat Maradona itu menyadarkan kita bahwa sepak bola ternyata bersinggungan dengan semangat nasionalisme. Meski nasionalisme di sini bukan dalam pengertian cinta tanah air, lebih-lebih nasionalisme yang terjebak dalam jargon fasisme seperti “NKRI harga mati”. Di sini, nasionalisme cenderung bermakna sebagai “kesadaran berbangsa”, yaitu sebuah keprihatinan atas bangsanya, sesamanya, yang diperlakukan oleh tentara Inggris tak ubahnya seperti “membantai burung emprit”–untuk meminjam kiasan Maradona.
Pendek kata, kita melihat sepak bola yang diekspresikan Maradona sebagai sesuatu yang lain. Sesuatu yang menghubungkan kita pada hal-hal yang tak punya kaitan langsung dengan sepak bola itu sendiri. Maradona di Piala Dunia mengajarkan kita tentang martabat sebuah bangsa. Berkat penampilan apik Maradona di Piala Dunia 1986, saya perlu mengutip kalimat presiden Argentina, Alberto Fernández, “Argentina menjadi negara yang amat penting di dunia”.
Ketika ia datang ke Naples dan membawa Napoli menjadi Juara Serie A misalnya, ia dianggap sebagai juru selamat. Tak mengherankan mengapa di kota itu ia diperlakukan layaknya seorang santo. Kepadanya orang-orang menaruh harap. Di sini kita melihat sosok mesiah dalam rupa pesepak-bola, meski bukan penganjur ajaran-ajaran Tuhan. Tetapi tampak betapa sepak bola melibatkan kepercayaan dan harapan. Bersamaan dengan itu, sepak bola mulai mendefinisikan kesetiaan atau, dalam gestur yang agak posesif, fanatisme.
Maradona adalah sepak bola itu sendiri yang menjelma ke berbagai rupa. Tetapi kita sering menyederhanakan sosoknya sebagai “si tangan tuhan”, pahlawan Argentina di Piala Dunia, dan berbagai identitas yang mengalamatkan namanya sebagai pesepak-bola di atas lapangan hijau.
Kita sering melewatkan identitas-identitas Maradona yang lain di luar lapangan hijau–yang tersebar ke beragam rupa identitas. Selain sebagai santo, ia bahkan juga seorang pengagum Che Guevara, yang artinya seorang kiri. Meskipun demikian, dalam rupa-rupa identitas itu, ia tetap hadir lewat sepak bola.
Kini, “si tangan tuhan” telah direngkuh oleh Tangan Tuhan. Para penggemarnya berkumpul di Naples dan berseru bahwa kepergiannya adalah juga kematian bagi sepak bola. Para penggemar beratnya tak akan sanggup membendung air mata. Berbagai ungkapan selamat jalan juga membanjiri timeline kita di media sosial.
Membaca semua ungkapan itu seolah bagai memungut kepingan-kepingan kesedihan dari kepergiannya. Seorang presenter TV berita C5N di Argentina mengatakan dengan intonasi kalimat yang melankolis tentang kepergiannya: “separuh masa kecilku juga ikut pergi”.
Tak sulit meraba denyut kehilangan bagi mereka yang lahir dari generasi 70-an di masa ketika Maradona memenuhi masa kecil mereka. Tetapi selama sepak bola masih ada, Maradona ada di sekitar kita. Agaknya Messi cukup mengurangi kesedihan kita dalam hal ini, “dia pergi meninggalkan kita tapi tak sungguh-sungguh pergi, karena Diego abadi”.[]