Sore ini awan hitam menutupi langit yang semula cerah. Mendadak gelap dan seakan kelam. Sesekali terdengar suara guntur meski tidak disertai kilat yang cahayanya mengalahkan lampu sorot di simpang lima. Angin juga tetiba bertiup semakin dingin, mengalahkan kesejukan saat bersama sang pujaan hati. Kali ini suasana memang di luar prediksi. Menakutkan sekali
Sambil duduk di kursi tengah, mataku sibuk memandangi lalu-lalang warga yang sedari tadi melintasi jalan. Ada yang naik motor terburu-buru mungkin teringat jemurannya belum diangkat, bahkan ada yang berlari kencang karena takut sebentar lagi hujan akan menyerang. Semua menjadi seperti anggota Basarnas, siap siaga, bahkan siaga satu.
Hatiku juga tengah menanti-nanti. Bapak belumlah pulang dari sawah, yang jaraknya tidak dekat dari rumah. Sementara Bapak hanya naik sepeda saat berangkat. Pikiranku melayang, bagaimana jika nanti kehujanan? Lebih-lebih di sawah tiada tempat untuk berteduh. Yang ada cuma gubug kecil dari bambu, itupun tidak terjamin keamanannya.
*****
Tiba-tiba aku teringat satu cerita beberapa tahun silam. Bapak sebenarnya bisa mengendarai sepeda motor. Sewaktu ia masih muda pernah diajari oleh kawan-kawannya. Namun karena suatu hal, Bapak pernah mengalami kecelakaan saat dibonceng naik motor oleh salah satu temannya. Saat itu luka Bapak cukup parah, tulang lengan atasnya retak, yang menyebabkannya harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Mungkin karena kejadian itu, rasa trauma di hati Bapak masih saja membekas.
Hingga kini, Bapak masih takut saat dibonceng naik motor. Seringkali saat di perempatan jalan, Bapak selalu memberi aba-aba untuk menyalakan lampu sein dan membunyikan klakson—yang terkadang menurutku berlebihan. Sampai-sampai aku sering tertawa sendiri saat membonceng Bapak, karena menurutku klise, hehe.
Tapi ternyata semua itu membawa dampak yang positif. Saat aku sedang tidak bersama Bapak, setidaknya aku jadi selalu ingat untuk menyalakan lampu sein dan selalu membunyikan klakson saat di tikungan jalan. Aku bersyukur, ternyata semua yang sering dilakukan Bapak sangat bermanfaat untuk diriku.
Karena masih memiliki rasa trauma yang mendalam, kini Bapak lebih suka naik sepeda saja untuk kemana-mana. Mengayuh dengan kedua kaki yang kini semakin terlihat tulang betisnya. Sering juga aku melihat wajahnya penuh peluh saat mengayuh. Bapak tidak peduli betapa gencarnya matahari memanasi bumi, pun betapa derasnya hujan menghantam diri.
Satu hal yang masih saja menjadi cerita haru, bahwa Bapak tidak akan memintaku untuk memberikan kunci motor walau harus membeli sesuatu di tempat yang jauh. Bapak akan dengan bangga menaiki sepedanya yang juga sudah tua.
Tidak terbayang betapa lelahnya bapak. Dapat dipastikan kakinya kram. Belum lagi sepedanya tidak memiliki rem. Sehingga kalau mau berhenti, Bapak menggunakan kakinya untuk mengurangi kecepatan ban berputar.
Sedih sebetulnya, bahkan aku sering menangis saat melihat Bapak keluar rumah dengan sepeda ontelnya. Tidak lelah aku berinisiatif menawarkan kepada Bapak, supaya mau mengendarai sepeda motor. Namun Bapak tetap saja tidak mau. Katanya, “Naik sepeda saja biar tetap sehat.”
Terenyuh, sebenarnya bukan alasan itu yang membuatku merasa tertampar oleh kenyataan. Melainkan sikap sederhana dan apa adanya yang telah diajarkan oleh Bapak. Selalu dan selalu. Bapak juga tidak pernah malu meski saat ada acara seperti hajatan, bapak hanya berangkat dengan menggunakan sepeda. Sedangkan orang lain tinggal menjalankan starter saja pada motornya.
Salut. Bahkan menurutku tidak ada kalimat yang pantas diucapkan untuk sekadar mengungkapkan bahwa Bapak itu luar biasa. Sifat sederhananya mampu membuatku terus belajar, sehebat apapun kita, sebanyak apapun harta yang kita miliki, dan setinggi apapun jabatan kita, kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Karena harta dan jabatan tidak menjadi indikator manusia takwa menurut-Nya.
Boleh saja manusia memiliki segala pernak-pernik dunia. Akan tetapi, tetaplah berusaha mengimbangi agar menjadi manusia penuh takwa. Karena mau bagaimanapun juga, semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah semata. Segala hal yang berhasil kita dapatkan, tiada lain adalah bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Lantas, apa yang masih pantas kita sombongkan?
Berkat Bapak aku tersadar, menjadi diri sendiri ternyata jauh lebih menenangkan. Menjalani hidup dengan sederhana akan mengantarkan kita pada pribadi yang selalu menghargai dan bersyukur, apapun itu.
*****
Tak terasa air mata melintasi pipi. Sambil menatap Bapak yang baru saja tiba, kuusap air mata dengan lengan baju kiri. Bapak pulang dengan senyumnya yang merekah dan bersyukur tidak basah karena hujan. Alhamdulillah, ternyata bahagia itu sederhana.