Tiap hari, selalu saja ada berita yang buat perut sakit. Aktornya tiada lain tiada bukan adalah pihak pemerintah. Dari hulu ke hilir, dari pusat sampai daerah. Semua sangat mampu berperan layaknya virus di saluran pencernaan.
Belakangan, kita melihat bagaimana pemerintah di beberapa daerah gampang saja menaikkan PBB P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan). Sebut saja, Jombang kenaikannya 400%, Cirebon 1000%, dan Pati–daerah yang orang-orangnya sedang marah–kenaikan PBB-nya di angka 250%.
Serentetan berita ini sudah cukup buat saya muak. Saya jadi bertanya-tanya: apa sih yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah? Dari politisi hingga birokrat kelas umbi, selama ini mereka ngapain aja sih demi kemajuan daerah?
Akibat Keringnya Kucuran Dana Pusat
Kebijakan efisiensi digadang-gadang merupakan alasan utama dari kenaikan PBB di beberapa daerah. Tempo menyebut bahwa aliran dana dari pusat ke daerah, akibat efisiensi anggaran, terpotong hingga 50%. Ini yang menyebabkan pemerintah daerah, mau tidak mau, mencari ‘jalan pintas’ demi mendapat uang, termasuk juga di sini kenaikkan PBB P2.
Tentu, akan sangat mudah menyalahkan pemerintah pusat karena hal ini. Pun dari kacamata yang lebih menyeluruh, kita tidak dapat memungkiri bahwa sangat banyak industri yang lesu akibat dari pemangkasan dana. Namun jika berbicara dalam konteks kenaikan PBB P2, alasan efisiensi tidak seharusnya menjadi kambing hitam tunggal. Secara bersamaan, kondisi ini menyuratkan paham bahwa selama ini pemerintah daerah hanya bergantung dari kucuran dana pusat.
Kajian BPK tahun 2019 sebagaimana yang dikutip melalui Media Keuangan, menyebutkan bahwa hanya 1 dari 542 daerah yang berkategori “sangat mandiri” secara fiskal, 8 provinsi dan 2 kota tergolong “mandiri”, sisanya masih pada status “menuju mandiri” dan “belum mandiri”. Di tahun 2024 sendiri, disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi sebesar 28,7% pada daerah, sisanya masih disokong pusat.
Pemerintah daerah, dalam konteks ini, harus “tahu diri” bahwa mereka sejak lama terlalu dimanjakan oleh pusat–melalui skema Transfer ke Daerah (TKD). Akan tetapi, sejauh ini, TKD tidak dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menciptakan ekonomi kreatif, yang memungkinkan daerah melepas ketergantungan fiskal dari pihak pusat.
Pada tahap tertentu, seabrek kucuran dana seperti sebelum-sebelumnya seakan ‘menina-bobokan’ mereka dari inovasi pemanfaatan SDM dan SDA masing-masing. Padahal jika mau diusahakan secara adil, dua variabel besar tersebut bisa berpotensi mendatangkan PAD.
Boros Tidak pada Tempatnya
Sampai di sini, saya pikir pertanyaan yang sebelumnya saya ajukan sangat-sangat relevan. Apa saja yang sudah kalian lakukan, wahai penguasa-penguasa daerah?
Tentu akan sangat tidak adil kalau saya katakan bahwa kalian sama sekali tidak bekerja. Termasuk pula di sini harus disinggung ada kebijakan yang mengeker kemaslahatan rakyat. Tapi di satu sisi perlu dipertanyakan, kebijakan yang kalian keluarkan apakah berpotensi menjadikan daerah mendapat sumber pemasukan sendiri sehingga mampu terlepas dari sokongan dana pusat?
Jangan dikira membuat kebijakan dengan memberi batuan ekonomis dengan pola yang tidak produktif menjadi prestasi yang bisa kalian banggakan. Iya, hal ini memberikan ‘kesenangan’ pada masyarakat, tapi itu tidak lebih dari kesenangan semu. Alias palsu.
Belum lagi jika melihat bahwa keuangan daerah terlalu banyak dihabiskan untuk program yang pada dasarnya tidak memberi dampak positif apa pun kepada masyarakat. Bolak-balik perjalanan dinas, pengadaan kendaraan dinas terus-terusan, atau rapat tiada henti yang sarat akan kepentingan untuk meloloskan proyek pribadi.
Ingat, sekali lagi, anggaran yang kalian gunakan untuk hal-hal yang tidak produktif semacam ini bukan merupakan dana segar yang kalian dapatkan atas prestasi kalian sendiri. Itu dana pusat karena kalian tidak mampu (alias impoten) untuk mencari dana sendiri.
Percuma PBB Naik, Toh Akan Tetap Begitu-Begitu Saja
Jujur saja, melalui tulisan ini, saya tidak hendak memberi solusi bagaimana pemerintah daerah harusnya bertindak di tengah kebijakan efisiensi pusat. Yang saya sesalkan, kenapa dari dulu tidak ada langkah konkret untuk melepaskan diri dari ketergantungan pusat? Dan yang lebih saya sesalkan, atas dasar kelalaian–untuk tidak mengatakan nggak becus–kalian itu, kenapa rakyat yang harus menanggung semuanya? Kenapa kebijakan minim inovasi ini yang kalian gemakan?
Kami sudah terlalu banyak membayar administrasi kenegaraan, mulai dari beli minuman di minimarket sampai uang tanda-tangan jual beli tanah di kelurahan. Masa iya mau ditambah lagi?
Lagi pula, jika saja aturan PBB P2 ini terealisasi, siapa yang akan menjamin pola kebijakan pemerintah daerah akan berubah? Saya terlalu skeptis untuk berhusnudzon akan ada perubahan pola ekonomi yang lebih produktif. Kalau begitu-begitu saja, untuk apa kita bayar pajak lebih?
Terpotongnya kucuran dana dari pusat harusnya menjadi alarm untuk pemerintah daerah agar mampu memberikan inovasi demi berkembangnya alur ekonomi yang produktif. Bukan dijadikan landasan untuk melimpahkan tanggung jawab pada masyarakat.
Ingat, bapak ibu pejabat daerah yang terhormat, kalian menaikkan pajak orang-orang yang rentan akan rasa lapar. Yang mungkin, penghasilan bulanan mereka tidak lebih dari uang jajan anak-anak bapak ibu sekalian. Kami bukan sapi perah yang terus-terusan bisa diambil susunya. Isi dompet kami bukan ladang uang yang bisa kalian palak demi kebijakan basi tanpa inovasi.[*]