Tahun 2020 telah berganti menjadi tahun 2021. Bisa dikatakan, tahun 2020 adalah tahun yang berat. Berat bagi mereka yang harus terkurung di dalam rumah, berat bagi mereka yang ter-PHK dari pekerjaannya, berat bagi mereka yang baru lulus dari perkuliahan.
Di tahun ini, beberapa orang berusaha bertahan dengan cara melakukan hal-hal yang sederhana, menciptakan sesuatu yang receh sebagai upaya memicu kebahagiaan agar tetap terlihat waras. Waras dalam menghadapi ketidakpastian di sepanjang tahun sebelumnya.
2020 adalah tahun yang penuh dengan ketersinggungan. Pada masa awal pandemi Covid-19 mulai merekah di negara-negara lain, para pejabat di negara kita begitu bersendau gurau sambil mencibir negara lain yang dianggap gagal membentengi negara mereka dari ancaman bencana wabah. Justru sebaliknya, pejabat kita begitu PD dengan memberikan diskon paket wisata bagi wisatawan asing ataupun lokal yang ingin berlibur di kala negara lain sedang sekarat.
Pejabat kita juga fasih dalam memberikan narasi penenang ke publik yang pada dasarnya hanya menjadi doping di mindset masyarakat. Dan pada akhirnya berakibat buruk karena menutupi fakta yang sebenarnya terjadi.
Kita tentu masih ingat perkataan juru bicara penanganan Covid 19 saat itu, dia berkata “yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi kaya agar tidak menularkan penyakitnya,”. Perkataan ini menjadi puncak dari fase awal munculnya ketersinggungan di kalangan masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Pasca itu, percik-percik ketersinggungan semakin massif. Korupsi kalangan pejabat kementerian menjadi bara api yang membuat ketersinggungan meruak semakin menjadi-jadi. Meski begitu, nyatanya ketersinggungan dari para pejabat hanya menjadi satu sampel dari banyaknya sampel ketersingungan yang harus kita hadapi di saat pandemi.
Ulah para public figure, buzzer politik, membuat ketersinggungan itu membentuk ekosistem konfilk horizontal di masyarakat. Kita yang sejatinnya punya kepentingan, cita-cita dan urusan yang harus diselesaikan menjadi ikut terseret karena rasa penasaran dan jiwa komunal yang ada di dalam hati kita. Kita menjadi bagian dari ekosistem konflik tersebut.
Intinya, 2020 adalah tahun yang berat. Ketersinggungan yang terjadi memicu konflik horizontal di lingkungan masyarakat kita. Secara individu, hal ini tentu akan berdampak pada kehidupan kita. Berimbas pada resolusi dan target-target yang sudah dikontruksikan di awal tahun. Membuat cita-cita yang diimpikan akan terealisasi di tahun 2020 menjadi batal teraktualisasi.
2020 sudah berakhir. Membuat catatan baru berisikan resolusi hidup agaknya telah menjadi budaya kita secara tersirat agar hidup menjadi lebih terarah.
Ngomong-ngomong tentang resolusi, setiap dari kita punya sesuatu yang ingin dicapai. Resolusi menjadi medium yang sering digunakan agar hal yang ingin dicapai persentase terrealisasikannya bisa semakin besar. Apalagi ketika kita telah mengalami kerterpurukan akibat pagebluk yang mewabah hampir di sepanjang tahun. Juga hampir pasti masih mewabah hingga tahun berikutnya. Resolusi menjadi penawaran untuk meraih secercah harapan dalam mengarungi hidup di tahun 2021.
Tapi permasalahannya, banyak resolusi yang dibuat tidak berdasarkan pada kontemplasi pribadi melainkan pada pengamatan pencapaian yang didapatkan orang lain. Resolusi ini biasanya tercipta karena rasa iri atas aktivitas pamer yang dilakukan oleh orang lain di sekitar kita, terutama media sosial. Resolusi hidup seperti ini hanya berdasarkan pada sikap seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain, yang menurut ilmu sosial disebut sebagai social comparison.
Diskursus mengenai teori perbandingan sosial sendiri digagas oleh Leon Festinger yang mengawali studinya dengan postulat yang tegas bahwa setiap individu memiliki dorongan untuk mengevaluasi opini dan kemampuannya. Masalahnya, setiap evaluasi atas kemampuan individu kadang digerogoti oleh perilakunya dalam mengamati orang lain. Maka dari itu, seorang individu cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain ketika berada pada situasi yang membuatnya merasa krisis dan ambigu pada dirinya sendiri.
Resolusi yang bersumber dari pantulan pencapaian orang lain tentu sangat berdampak buruk terhadap kita. Resolusi yang seperti ini hanya membuat seseorang tenggelam dalam obsesi, ambisi, kompetisi dan akhirnya melupakan apa yang sebenarnya menjadi kapastitas potensial dalam diri sendiri.
Kalimat positif yang terus mendengung di telinga untuk tetap menjalani resolusi yang berdasarkan pada perbandingan diri, menjadi toxic yang nyatanya hanya membuat seseorang berjalanan di tempat.
Lebih dari 2000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi untuk menghadapi sisi naluri membandingankan diri seperti saat ini. Yaitu filsafat stoisisme.
Pada dasarnya sisi membandingkan ini muncul dari akibat emosi yang tidak stabil dan pikiran negatif tentang kapasitas diri. Stoisisme hadir memberikan penawar untuk mengendalikan itu, alih-alih membuangnya sebagai sebuah sampah. Stoisisme memiliki tujuan untuk hidup dengan emosi negatif yang terkendali, hidup dengan kebajikan dan rasionalitas sebagai benteng untuk berperilaku sebagaimana harusnya kita menjadi manusia.
Stoisisme menuntut seseorang untuk fokus pada dirinya sendiri, fokus pada apa yang dimiliki, dan menjalani kehidupan berdasarkan kapasitas personal. Oleh karenanya, proses membandingkan diri untuk membentuk resolusi merupakan langkah salah bila mengacu pada paham stoisisme.
Orang lain adalah unsur yang ada di luar kita, dan kita tidak akan mampu mengendalikannya. Stoisisme mengajarkan seseorang untuk fokus mengendalikan dirinya sendiri, karena mengendalikan orang lain adalah sesuatu yang mustahil.
Stoisisme mengajarkan tentang mengelola pikiran negatif yang muncul, dan tidak memaksakan untuk selalu mengahadirkan pikiran positif. Secara emosional, pikiran negatif membuat seseorang memahami bahwa setiap rencana yang ditetapkan tidak selalu berjalanan sesuai rencana, tidak berjalanan sesuai apa yang kita mau.
Seneca, salah seorang filsuf stoisisme berkata: manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak menginginkan apa yang belum dia miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.
Di sini bisa simpulkan bahwa stoisisme ingin kita fokus pada diri sendiri, menggali apa yang mampu kita lakukan dan tidak berfokus pada orang lain serta menepikan faktor luar karena sejatinya kita tidak mampu mengendalikan itu. Seperti halnya pandemi pada tahun ini, siapa yang menyangka dia akan menghantui kita di sepanjang tahun kemarin?
Mengendalikan apa yang kita mampu, dan membiarkan faktor-faktor eksternal yang di luar jangkauan kita bergerak sesuai dengan hukum alam juga membuat kita terhindar dari ketersinggungan yang menjemuhkan. Maka dari itu, mari jadikan stoisisme sebagai panduan dalam merekonstruksi resolusi di tahun baru yang akan segara datang.[]