Sebagai seorang tutor Bahasa Inggris (freelancer), saya biasa mengajar untuk beberapa siswa dari anak SD, SMP, hingga SMA/SMK. Saya juga ikut menjadi tutor di suatu bimbel (bimbingan belajar) dan meng-handle juga privat di rumah selama lebih dari dua tahun. Maka dengan latar belakang ini saya sangat terbiasa menghadapi siswa-siswi sekolah dengan kurikulum yang cukup berbeda.
Suatu hari saya dapat tawaran dari teman untuk mengajar privat keponakannya. Saat itu karena masih ada waktu lebih, maka saya terima tanpa pikir panjang. Singkat cerita hari Senin saya langsung ke rumahnya. Di sana kita mulai berbincang ringan bersama ibunya, dan cukup kaget ketika ibunya mengatakan ia ingin anaknya les karena sudah siswa kelas 5 Sekolah Dasar.
Anak tersebut bernama Felita yang ternyata hanya menerima mata pelajaran Bahasa Inggris tidak sampai dua semester. Sehingga kedua orang tuanya khawatir ia akan tertinggal, hingga akhirnya berinisiatif memanggil saya sebagai guru les untuk memberi bekal sebelum nantinya lanjut ke SMP.
Sebagai ‘mantan’ guru Bahasa Inggris di salah satu Madrasah Ibtidaiyah, saya pikir meskipun Bahasa Inggris bukan mata pelajaran inti pada jenjang Sekolah Dasar atau setingkatnya, namun mapel ini biasa dan lumrah dijadikan muatan lokal bersanding dengan mata pelajaran kesenian atau keterampilan lain. Sudah banyak sekolah yang melakukan itu, meskipun pihak sekolah bisa mengatur anggaran untuk honor guru tersebut menyesuaikan kemampuan dana yang ada. Saya yakin fresh graduate tidak banyak yang menuntut gaji banyak di awal pengabdiannya. (*Hmm sedikit curhat pengalaman pribadi, hehehe).
Mata pelajaran ini tidak bisa dianggap enteng. Ini bukan hanya soal kosakata yang dikuasai, tetapi perlu juga mengenal struktur bahasa, praktik mendengarkan, dan belajar berbicara melafalkan bahasa orang asing. Membacanya saja kadang bikin mules, bukan?
Bahasa Inggris memang sudah tidak langka kita temukan. Namun, bagaimana bisa kita memahaminya tanpa mengenalnya secara jelas?
Di jenjang berkutnya (SMP), guru Bahasa Inggris sudah untuk jarang menyentuh kosakata dasar (vocabulary) karena dianggap siswa telah memahaminya sewaktu SD. Tentunya bagi siswa yang tidak mendapatkan bekal yang cukup untuk menulis, otomatis akan kesulitan dan tidak menutup kemungkinan psikologisnya akan terganggu. Rasa minder tak bisa dipungkiri, apalagi kepada siswa-siswi yang berasal dari sekolah favorit. Bahasa kerennya: ‘insecure’. Saya saja yang sudah mengantongi cukup bekal dari SD kelas empat masih merasa ‘disconnected‘ dengan pelajaran lanjutan di SMP hingga SMK dahulu.
***
Kembali ke permasalahan awal. Ringkas cerita, saya sudah mengajar sekitar dua bulan, kebetulan dalam seminggu ada dua kali pertemuan. Saat ini ia sudah bisa menguasai sekitar lebih dari 400 kata dan mampu sedikit demi sedikit menyusun kalimat dengan benar. Bukankah ini hebat?
Sangat disayangkan jika kemampuan seorang siswi seperti dia dalam menguasai bahasa tidak dapat maksimal karena sistem sekolah atau kurikulum tidak begitu mendukung. Kebijakan Kepala Sekolah diperlukan dalam kasus-kasus seperti ini. Yahhh… Beruntunglah saya, mampu belajar bahasa asing ini meskipun sempat terseok-seok karena otak lebih lambat alias lola untuk menangkap materi dibanding yang lain. Namun, tak disangka ternyata masih bisa lanjut sampai sarjana hingga bisa bertemu banyak siswa dengan segala fakta unik yang ada–seperti apa yang saya ceritakan ini. Pada akhirnya kita tidak mampu mengubah banyak hal.
Tujuan tulisan ini selain untuk melatih skill menulis, juga menjadi refleksi diri, serta ditujukan untuk mengambil hikmah sekaligus coba saya bagikan. Memang sedikit-banyak saya kecewa dengan sekolah-sekolah yang masih saja menganggap enteng Bahasa Inggris untuk anak SD. Namun, di sini ada juga perasaan bahagia ketika melihat kepedulian orang tua terhadap kemampuan anaknya. Mereka tahu kebutuhan anaknya dan memberikan dukungan kuat. Selain itu, saya juga bisa lebih banyak melihat kebahagiaan yang terpancar dari Felita ketika ada kuis secara lisan, dia bisa melewatinya dengan sangat baik di setiap pertemuannya.
Cerita ini tidak bermaksud menyinggung pihak manapun. Ada berbagai sudut pandang yang bisa digunakan untuk melihat masalah ini. Yaps, setiap masalah yang selesai pasti akan diikuti dengan munculnya berbagai hikmah. So, never stop learning!
Kenapa Bahasa Inggris untuk Anak SD tidak boleh dianggap enteng ? Ditulis oleh Maulida Arifatul Munawwaroh dan Dipublikasikan di metafor.id .