Ada sebuah kawasan yang tampak biasa di peta, namun warganya hidup dalam kepungan janji palsu yang manis. Mereka mendapat iming-iming pembangunan insinerator, alat pengolah sampah, yang diklaim bakal menggelar lapangan pekerjaan, mendongkrak ekonomi, dan menghadirkan masa depan yang lebih cerah. Kawasan itu adalah Curtis Bay, Baltimore, yang menjadi sumbu cerita dalam buku Future After Progress: Hope and Doubt in Late Industrial Baltimore karya seorang antropolog bernama Chloe Ahmann.
Kemudian, bagaimana realitasnya? Seperti yang sudah sering kita baca: warga saban hari menghirup asap, sakit-sakitan, dan tinggal di lingkungan yang semakin parah. Ahmann menyebutnya grammar of the subjunctive: hidup di bawah kata “akan”. Akan ada pekerjaan, akan ada kemajuan, akan ada masa depan lebih baik. Namun, kenyataannya, tak satupun terwujud. Ia menulis, “to be forgotten in anticipation is to be asked to live for futures that never arrive.” Artinya, warga diminta sabar menunggu masa depan yang tak kunjung datang.
Dari Curtis Bay ke Senayan
Kalau kita tarik keadaan ini dengan negara Indonesia, situasinya tak jauh berbeda. Pemerintah rajin menjanjikan “Indonesia Emas 2045”: negara maju, rakyat sejahtera, jalan mulus ke surga dunia. Namun, kenyataannya? Emas yang dijanjikan lebih mirip logam campuran—kusam, mudah karatan pula. Duh!
Contoh paling bikin geleng-geleng kepala: anggaran DPR. Bayangkan, rumah dinas anggota DPR bisa sampai Rp50 juta per bulan. Serius, itu rumah atau resort bintang lima di Bali? Sementara banyak rakyat di kota besar ngekost di kamar 3×3 meter seharga sejuta per bulan, tiap malam harus gemetaran karena bunyi listrik bip… bip… atju… bip… yang bebas bunyinya, bikin jantung dag-dig-dug sambil mikir tagihan listrik dan air.
Belum lagi jatah beras anggota DPR, yang mencapai 12 juta per bulan. Lah, itu makan beras apa sampai 12 juta? Dimakan sambil ngopi pakai air zam-zam tiap pagi? Satu keluarga biasa makan sekitar 20 kg beras sebulan, sementara anggaran beras DPR bisa membeli ratusan ton—kayak satu gudang Bulog. Bisa kita bayangkan, kalau satu gudang itu dibagi ke rakyat. Eh, ternyata cuma dinikmati satu elite politik saja.
19 Juta Lapangan Kerja atau 19 Juta Janji?
Selain itu, pemerintah berbakat dan terlalu rajin mengumbar janji akan membuka 19 juta lapangan kerja baru. Angka yang besar, sampai bikin rakyat berpikir, “Wah, mungkin besok kucing kampung saya juga bisa dapet kerja.”
Tapi, berita dari lembaga internasional tidak seceria itu. IMF memprediksi Indonesia bakal jadi negara dengan angka pengangguran tertinggi kedua di Asia, setelah China. Jadi, bagaimana ceritanya? Yang dijanjikan 19 juta pekerjaan, tapi kenyataannya malah antrian penganggur makin panjang.
Situasi tersebut mirip betul dengan apa yang temen saya bilang, “Besok gue traktir, bro.” Eh, besok ketemu, dia malah bilang, “Aduh, dompet ketinggalan.” Mirisnya, dompet ketinggalan terus tiap minggu. Kapan traktirnya, Bos?!
Subjunctive Time ala Indonesia
Demikianlah inti masalahnya: kita diminta percaya bahwa nanti semuanya “akan” lebih baik—pendidikan gratis, kesehatan mudah diakses, Indonesia maju. Semua pakai “nanti” dan “akan”. Namun, bagaimana realitas hari ini? Anggaran elite politik habis untuk kebutuhan pribadi dan fasilitas mewah.
Ahmann bilang, “Anticipation promises change while deferring it indefinitely.” Artinya, antisipasi menjanjikan perubahan, tapi sekaligus menundanya tanpa batas. Pas sekali dengan kondisi kita. Terlalu persis. Kita hidup di tengah janji manis, dan kenyataan tiap hari berkata membisik: “Sabar ya, nggak sekarang kok.”
Kalau terus begini, jangan-jangan yang benar-benar “emas” cuma beras DPR. Rakyat? Paling kebagian debu, polusi, dan janji palsu.
Kenapa Kita Masih (Dipaksa) Percaya?
Hati-Hati! Selain masalah ekonomi, janji-janji ini juga punya fungsi politik. Dengan menjanjikan masa depan cerah, pemerintah bisa menunda kritik dan menenangkan rakyat. Mirip psikologi balsem. Kita diolesi agar tenang sejenak, tapi sakit pedalaman kita tak benar-benar sembuh. Kita disuruh sabar, berharap, dan percaya, padahal setiap tahun angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan tetap ada, bahkan melonjak.
Barangkali inilah yang membuat makin miris: janji “Indonesia Emas” sering tidak dibarengi dengan langkah nyata untuk kesejahteraan rakyat biasa. Infrastruktur dibangun, tapi siapa yang menikmatinya? Jalan tol lancar, tapi rakyat miskin tetap sulit naik transportasi umum–yang semakin mahal itu.
Di tengah semua janji itu, wajar kalau rakyat mulai skeptis. Kita belajar satu hal dari Curtis Bay: masa depan yang dijanjikan justru bisa jadi alasan buat menutupi penderitaan–terkhusus kita dan saya sebagai rakyat jelata hari ini.
Jadi, sebelum terpikat dengan “Indonesia cerah” atau “Indonesia Emas 2045”, mari lihat kenyataan: rumah dinas mewah, jatah beras fantastis, dan janji lapangan kerja yang tidak jelas waktunya. Kalau terus begini, rakyat cuma kebagian asap tambang, debu jalanan, janji-janji, dan “nanti-nanti” tanpa henti.
Kalau ada yang benar-benar emas sekarang, itu cuma beras DPR. Sisanya? Masih kering, berdebu, dan menunggu janji yang ternyata palsu. Argh, menyakitkan!














