• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 18 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi

Di Balik Bilik Kamar

Chintya Amelya P. by Chintya Amelya P.
12 Maret 2021
in Komentarium, Sambatologi
0
Di Balik Bilik Kamar

https://culturainquieta.com/es/arte/ilustracion/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Dulu mungkin nongkrong, sunmor, travelling, dan sebagainya adalah kegiatan menghabiskan waktu yang paling menyenangkan. Bagaimana tidak, kita bisa bertemu banyak orang, menyapa burung camar, hingga bisa jalan-jalan dengan pacar. Tapi, ada pula manusia yang harus terkungkung dalam bilik kamar dan memilih untuk tidak keluar rumah. Salah satunya ya saya.

Dalam benak ingin rasanya bisa jalan-jalan, main sama teman ke kota sebelah, menjelajahi alam pergi ke sawah-sawah, atau hal semacamnya lah. Yang penting keluar rumah. Namun, karena terbiasa dengan magnet kasur di rumah, menjadikan keinginan hati kecil saya ini harus mengalah. Saya yakin, yang pernah mengalami ini pasti tidak hanya saya saja.

Hingga suatu ketika saya dipaksa keadaan untuk merantau ke Jogja. Betapa ketar-ketirnya orang tua bahwa anak perempuan bontotnya ini akan pergi jauh dari mereka. Merantau sendiri di kota yang tak ada sanak keluarga sama sekali.

Takut. Kata yang sempat terbesit dalam hati.

Tapi, bukankah semakin kita menuruti rasa takut, maka kita akan dikalahkan oleh rasa takut itu sendiri? Bukankah semakin kita menghentikan langkah, maka semakin lama pula bagi kita untuk merekah? Jadi, sampai kapan kita menuruti rasa yang menjerumuskan kita pada hal yang itu-itu saja?

Untuk kalian yang mungkin sedang merasa seperti itu, jangan takut melangkah. Jangan takut keluar dari zona nyaman yang selama ini menyelubungimu. Keluarlah. Tapi, karena masih pandemi, ya entar-entar aja. Sabar. Hehe.

Balik lagi ke bacot ceritanya. Ibu saya berpesan bahwa, “Jangan terlihat seperti orang asing karena tak tahu jalan, tapi tetaplah terlihat tenang dan sok tahu jalan agar kamu tidak gampang dibodohi orang.” Tapi, ya kalau benar-benar nggak tahu ya tanya, Lur. Masa’ diem-diem bae.

Pesan itu yang selalu saya ingat ketika pergi ke beberapa tempat. Dari merantau inilah saya menemui banyak sekali pembelajaran. Mulai dari manajemen waktu, perhitungan uang, public speaking, sok asik, dan sebagainya. Pokoknya banyak. Hingga diriku ini menyadari bahwa hidup begitu menyenangkan ketika jalan-jalan. Tapi, kalau sakit, ya tetap aja ambyar.

Namun, aku bisa pastikan bahwa dunia perantauan tak semenyeramkan yang kalian pikirkan. Selama kau temukan teman yang paham akan kantong keringmu, ya semua aman. Tapi, kalau salah pergaulan, ya begitulah. No comment.

Di perantauan pertama ini juga waktu pertama kalinya saya bertemu dengan Mbah Emha Ainun Nadjib. Dulu saya pernah berceletuk bahwa saya akan bertemu dengan beliau di Jogja. Dan Tuhan dengan kemurahan hati-Nya mengabulkannya.

Karena pertimbangan uang dan rasa sungkan kalau minta uang bulanan, akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki menuju tempat Mocopat Syafaat diselenggarakan. Start-nya dari Jalan Kaliurang KM-5 bakda ashar. Sempat ingin membatalkan rencana jalan kaki ini, tapi balik lagi masalah uang. Jadi, ya sudah, diniatkan untuk belajar dan menikmati perjalanan.

Ada rasa takut juga mengingat bahwa saya ini perempuan dan berjalan hanya seorang diri. Ngenes. Takutnya ada hal-hal yang tidak diinginkan di jalan. Namun, ya sudah pasrah saja. Saya berdoa semoga Tuhan mengirimkan bala tentara-Nya untuk menjaga saya. Sok-sokan banget nggak tuh. Heuheuheu.

Tapi, betapa ajaibnya memang. Sepanjang perjalanan, Tuhan memudahkan langkah saya. Setiap kali ada laki-laki, hati udah was-was setengah mati. Namun, tiba-tiba laki-laki itu menunduk. Dan tidak hanya sekali, tapi semua yang saya temui memang menunduk. Aneh, kan? Saya juga masih berpikir itu aneh. Antara ini orang Jogja emang sopan semua atau ada sesuatu yang aneh dengan saya. Entahlah.

Sayangnya, niat saya ini tidak berhasil sampai tujuan. Karena saat itu bulan puasa, jadi saya harus mengakhiri langkah saya di Kadipiro. Istirahat sejenak dan berbuka lalu segera mencari masjid terdekat di sana. Siapa yang tahu bahwa tempat berakhirnya langkah saya adalah dekat dengan markas Kiai Kanjeng dan Mbah Nun. Hanya saja waktu itu saya belum begitu tahu tentang beliau, jadi ya nggak mampir.

Setelah selesai Magriban, nafas dulu, Lur. Capek habis jalan kaki. Kemudian, saya lanjutkan untuk naik ojol. Karena jarak sudah lumayan dekat, maka ongkosnya masih terbilang wajar. Jadi, gas aja naik ojol. Sempat bincang-bincang pula sama masnya di atas motor. Ternyata rumah neneknya dekat dengan lokasi. Jadi, udah tahu jalan tercepat sampai tujuan.

Di lokasi, saya bertemu dengan sahabat lama saya. Kami bersitukar banyak percapakan setelah beberapa bulan lamanya saling membungkam diri. Hingga tiba momen saya melihat wajah Mbah Nun. Melihatnya secara langsung, tidak lagi di layar televisi, maupun di layar handphone. Rasa capek saya seperti hilang menguap begitu saja.

Karena saya ini orangnya males ngomong–hingga dikira sombong–tapi justru karena itu saya bisa khusyuk duduk diam bersama dengan jamaah maiyah. Duh ayem rasanya. Sinau bareng dan bersholawat bareng dengan mereka. Kangen, Cuk. Pokoknya perjalanan saya selama merantau benar-benar tidak akan pernah saya lupakan. Sebab itu juga bagian dari proses kehidupan saya. Kemandirian saya dibentuk dari sana. Rasa takut saya hilang karenanya.

Jadi, kalau ditanya “Kok berani?” Ya kalau nggak berani, kita nggak akan belajar, Bos.

Akan seperti apa perjalanan kita itu tergantung keputusan seperti apa kita akan mengukirnya. Jika kita ukir untuk menapaki jalan lurus, ya mudah-mudah saja. Jika kita ukir untuk menapaki jalan bergelombang, ya butuh usaha dan kesabaran lebih. Kalau saya memilih mengukirnya dengan banyak jalan. Sehingga semakin mudah bagi saya menyesuaikan keadaan yang tidak senyaman ketika saya hanya berdiam tepekur di balik bilik kamar.[]

Tags: bosanDi Balik Bilik KamarJogjakelanamerantausambatologi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Warung Kopi dan Playlist Musiknya

Next Post

Sebuah Pesan Pendek dan Lekukan Mimpi

Chintya Amelya P.

Chintya Amelya P.

Mahasiswa asal Tuban, Jawa Timur, yang merasa salah jurusan. Kuliah di Yogyakarta. Kesibukan sekarang kuliah dan menulis saja. Bisa disapa di Instagram @chintyaamelyaa.

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!
Komentarium

Dear Orang Tua: Tolong Jangan Perlakukan Anak Semena-mena!

9 April 2022

Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 Maret 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Menyuarakan Mereka yang Terbungkam

Menyuarakan Mereka yang Terbungkam

18 April 2022
Suaka Rasa dan Derita

Suaka Rasa dan Derita

12 Februari 2021
Gambar Artikel Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru Untuk Kaum Pekerja?

Mengapa Jamie Vardy Layak Jadi Guru untuk Kaum Pekerja?

20 November 2020
Gambar Artikel Filsuf yang Curhat dan Nasehat Seorang Jomblo

Filsuf yang Curhat dan Nasehat Seorang Jomblo

11 Januari 2021
Di Balik Senyum Warga Desa

Di Balik Senyum Warga Desa

13 Juli 2021
Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024
Gambar Artikel Kutukan Ilmu dan Tipologi Ulama Menurut Al-Ghazali

Kutukan Ilmu dan Tipologi Ulama Menurut Al-Ghazali

10 Desember 2020
Desas-Desus Ultraman

Desas-Desus Ultraman

11 November 2021
Gambar Artikel Puisi Aku Telah Bermimpi

Aku (Telah) Bermimpi

26 Januari 2021
Berada di Kota Antah-Berantah

Berada di Kota Antah-Berantah

5 Mei 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.