Dehoffnung
Aku…
Sungguh-sungguh menipu hujan
Menamainya sebagai hutan
Setiap tetesan menitipkan mimpi
Akar-akar menumbuhkan sepi
Angkuh waktu membalik mundur
Menghidupi pohon-pohon yang gugur
yang ditebang dan tumbang
Terbilang di seribu zaman
Maka biarkanlah pergi menjadi perjalanan panjang. Dan, kembali sebagai pulang yang tak dirindukan. Karena tak akan pernah sama langkah kaki yang berdampingan dengan jalanan sunyi.
Dan, aku tak pernah sendiri. Jumlahku seribu, bersama mimpi-mimpi dan catatan Ohara, yang berusaha dibumihanguskan para bedebah-sampah yang memberhalakan kesadaran palsu.
Surabaya, 15 November 2022
Ruang Tunggu
Menunggu adalah tentang,
bekerjasama dengan waktu. Menawan sepi
yang menjamur dari balik jeruji besi. Burung kenari
yang memilih kembali kepada sangkar tak terkunci. Kuning padi
menyusuri perut-perut lapar korban tragedi. Atau telinga yang tuli
meski dipanggil berkali-kali untuk kembali
Menunggu adalah tentang bagaimana aku dan dirimu,
dalam kita; terbata-bata mengeja makna
dari mengapa wakil tuhan bisu pada lahan-lahan,
yang dirampok penguasa
Sedangkan ditunggu adalah persoalan dikejar sebuah jarak
Memangkas jalanan, menembus hujan, menyusuri kenangan
Bisa jadi dalam setiap nanti ada waktu yang menunggu dihampiri
Karena sendiri menunggu tak selalu mudah dikenali
Terkadang jarak adalah batasan menolak serempak
Seperti dedaunan nakal yang mengintip langkah kaki kita
menua bersama hamparan rindang yang ditebang
atau pada rejeki pedagang kaki lima
yang dikorupsi berandal binal
Menunggu dan ditunggu. Kita manusia-manusia,
yang terlalu banyak melewatkan suara-suara kelaparan di seberang kota
Seribu rintihan di kepala yang tak terbayang rupanya. Karena anak-anak kehilangan
lahan bermain yang kini menjadi gedung-gedung mewah pencakar mimpi
Bukankah kita sudah terlalu liar bermain-main dengan apa yang tak bisa kembali,
seperti sedia kala lagi? Menunggu dan ditunggu. Sebenarnya kita menunggu apa
dan mereka sedang ditunggu siapa? Pada himpunan garis batas penderitaan,
yang hanya kita lihat sebagai angka
Surabaya, 30 November 2022
Seumpama Coklat-Susu
Coklat susu; warna yang,
menyanyikan abu-abu pada sebuah ranting kayu
Ranting yang dirawat pada pohon tua di sebuah pojokan kota
Ia seumpama puisi yang dibaca siang dan malam. Dengan lantang dan senyuman dibesarkan bersama waktu
Dihidupi mimpi dan perjalanan panjang. Untuk kemudian menelan kepahitan serta darah juang
Sebagai saksi bisu dari langkah kaki yang kesana-kemari menapaki lautan
Atau menjadi bukti dari,
diksi sastrawi yang selalu mencari arti
Ia, ranting kayu yang akan menolak layu
karena ia akan menjadi yang baru, dan memulai sendiri petualangan,
di atas kapal besar yang senantiasa berputar-putar
mengelilingi lautan makna dan pulau kata-kata
Tumbuh, hidup, menghidupi,
menghidupi janji-janji yang diwarisi
Mewarisi semangat kedua warna,
memberi makna, menjadi bermakna,
tapi ini masih seumpama
Surabaya, 2 Desember 2022
Bagaimana Harinya, Kasih?
Kalau kelak,
datang sebuah pagi tanpa narasi
sedang hati berhenti memproduksi puisi
sementara kenangan rapi tersimpan di garasi
Jangan kau sebut sebagai benci. Atau diksi-diksi
itu telah basi. Jangan kau sebut sebagai pasrah,
meski menyerah kadang terlihat indah
Kelak nanti
Aku memang akan berhenti
Lari menuju jalan pergi. Menyusuri sunyi,
yang dirawat duri-duri tak berbunyi
Sendiri mati tanpa mentari
Membusuk dalam khusyuk. Terlelap bersama gelap
menggali sendiri liang lahat sebagai sekat
Bertahan sejauh ini, dalam tahun-tahun
sebagai catatan yang harus gugur sebagai daun-daun,
yang layu dan kering. Sebagai waktu yang tak lagi sering
Merawat memori senyum yang lebat
Sebagian buahnya adalah hangat
Separuhnya lagi “namun singkat”
Aku tak mau senyum itu cepat berlalu
Maka aku tulis sebuah surat tentang rindu, yang isinya
adalah judul puisi ini
Surabaya, 22 Desember 2022