Pagi bersama embun yang menguap dan sinar matahari yang membuat kesulitan hidup semakin terlihat, Bulan mengutuki dirinya dan Tuhan yang sudah menciptakannya.
Bulan teduduk di sudut kamar, Ia menatap lamat-lamat tali yang terputus di genggamannya. Sebelumnya Bulan sudah sangat yakin bahwa tali yang digunakannya cukup kuat untuk menggantung lehernya, setidaknya sampai nyawanya meregang. Tapi ketika bulan menghempaskan kursi yang dipijakinya, hanya berselang 10 detik saja tali yang menggantung lehernya terputus dan menjatuhkan tubuh serta seluruh keputusasaannya ke lantai yang dingin. Padahal Bulan sudah merasakan panas membakar paru-parunya.
Saat itu, Bulan merasa Tuhan mengejeknya, “Cih, begitulah nasib orang yang keras kepala. Sudah kubilang ini bukan saatnya kamu mati.”
Sambil menahan air mata yang sebenarnya sudah tak terbendung lagi, Bulan mendelikkan matanya ke atas. Kepada kuasa yang sangat agung di atas sana.
* * *
Bulan adalah gadis yang sangat ceria. Ia memiliki keluarga yang hangat dan menyayanginya sepenuh hati. Ibunya selalu menceritakkan kisah cinta bersama ayahnya semasa muda sambil mengelus kepala Bulan sebelum akhirnya tetidur di pelukan hangat ibu.
Ibu Bulan selalu mengatakan bahwa satu-satunya kisah bahagia dalam hidupnya adalah masa ketika ia berpacaran dengan ayahnya, sehingga hanya itulah dongeng yang dapat ibunya ceritakan kepada Bulan menjelang tidur. Tapi Bulan tidak apa-apa, ia tidak pernah merasa bosan dan selalu mendengar dengan antusias walaupun Bulan sudah hafal setiap kata yang akan ibunya lontarkan.
Sedangkan ayahnya setiap pagi selalu menggendongnya berjalan-jalan menikmati udara pagi dan memperhatikan semua orang yang tampak terburu-buru mengejar sesuatu yang tidak pernah ia ketahui. Ayahnya membuat Bulan menikmati waktu yang sangat lambat di tengah aktivitas kota yang sangat cepat.
Setelah jalan-jalan pagi, Ayah, Ibu dan Bulan pergi ke penampungan sampah di mana mereka akan mendapatkan cukup uang untuk makan malam. Ayah dan ibu akan mengumpulkan botol-botol plastik, sedangkan Bulan, Ia akan mengumpulkan semua hal yang menarik perhatiannya. Boneka, alat-alat elektronik, sepatu, baju, walaupun semuanya sudah rusak dan bau.
Ketika sore menjelang, Ayah, Ibu dan Bulan kemudian pergi ke tempat di mana mereka akan membayar semua botol plastik yang sudah dikumpulkan. Setelah berhasil menjualnya, Ayah, Ibu dan Bulan mendapati senyum merekah di wajah seraya membayangkan menu makan malam yang lezat.
Begitulah kehidupan Bulan terus berulang dan membuatnya menjadi gadis yang sangat ceria.
Hingga suatu hari, Ayah dan Ibu Bulan berubah menjadi sosok lain yang tidak ia kenali. Ibu tidak pernah berkisah lagi untuk mengantarkan Bulan tidur dan Ayah tidak pernah lagi menggendong Bulan berjalan-jalan menikmati kota pagi hari.
Ibu dan Ayah Bulan berhenti berbicara pada Bulan. Satu-satunya kalimat yang sering dikatakan oleh Ibu dan Ayah Bulan sejak mereka berubah adalah, “Kamu tidak diciptakan untuk kebahagiaan, kamu akan dilihat oleh dunia sebagai bukti bahwa penderitaan itu nyata.”
Bulan sama sekali tidak mengerti mengapa Ibu dan Ayahnya berubah. Apakah Bulan membuat kesalahan? Bulan tidak tahu.
Pada Selasa siang, atau mungkin Sabtu, Bulan tidak pernah benar-benar mengingat hari, Ibu dan Ayah tidak pergi ke penampungan sampah. Mereka hanya duduk di kursi sambil tidak berbicara satu sama lain. Bulan memperhatikan Ibu dan Ayah. Bulan melihat air mata menetes di ujung mata sang Ayah, namun Ayah buru-buru menghapusnya. Sedangkan Ibu, wajahnya tidak memiliki ekspresi. Itu bukan lagi Ibu, pikir Bulan. Ibu pasti diculik dan ini adalah Ibu palsu.
Lalu Ayah beranjak dari kursi, mulai menyiapkan tali entah untuk apa. Ayah menggantungkan tiga tali pada atap kayu. Dua tali lebih pendek dan satu tali lebih panjang. Sesekali Ayah melihat ke arah Ibu dan Bulan seperti menimbang-nimbang. Bulan tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dilakukan Ayahnya.
Setelah tali siap, Ayah menyimpan masing-masing satu kursi di bawah tali. Sampai di sini Bulan sedikit mengerti apa yang akan dilakukan Ayahnya.
Apakah Ayah sedang mengajak Bulan bergurau seperti sinetron? Tapi wajah Ayah tidak menunjukkan gelagat sedang bermain. Satu hal yang Bulan tahu saat itu adalah bahwa Bulan mulai ketakutan, Bulan mulai menangis. Tapi Ayah dan Ibu tidak berusaha menghentikkan tangisan Bulan. Ayah hanya menatapi tali yang sudah dipasangnya sedangkan Ibu menunduk, tapi bukan sedang berdo’a.
Ibu mulai beranjak dan menggendong Bulan lalu menaikkannya ke atas kursi di bawah salah satu tali yang lebih panjang. Bulan tidak berhenti menangis. Ia semakin takut. Seraya menangis Bulan berkata pada Ibunya, “Bu, Bulan ngantuk. Bulan ingin tidur. Ayo ceritakan kisah cinta Ibu dan Ayah agar Bulan Tidur, Bu….” Tapi ibu tidak memberi tanggapan apapun.
Ibu menatap Bulan lamat-lamat lalu butir demi butir air mengalir dari mata Ibu. Tampak ibunya mulai memiliki ekspresi lagi yang kemudian membuat Bulan sadar kalau Ibu benar-benar ada di sini. Ibu tidak diculik.
Ibu mengecup kening Bulan, “Bulan, kamu adalah anak yang sangat Ibu dan Ayah Banggakan. Kamu adalah anugerah terbesar untuk kami. Tapi jika kamu diciptakan bukan dari kebahagiaan, untuk apa kamu tetap bertahan hidup sembari merasakan derita demi derita menghantammu. Lebih baik kita kembali.”
Belum saja Bulan mengerti ia harus kembali ke mana. Ibu sudah beranjak lagi dan naik ke atas kursi di bawah tali yang lebih pendek. Di sampingnya, sang Ayah sudah berdiri siap dan menatap kepada kekosongan. Ayah dan ibu lalu menyimpan ujung tali melingkar—yang juga sudah disiapkan oleh Ayah—ke leher. Ibu melihat ke arah Bulan dan menyuruhnya melakukan hal yang sama.
Bulan masih menangis, walaupun lebih pelan dan melakukan apa yang Ibunya perintahkan. Tidak berselang lama, Ibu dan ayah mengempaskan kursi yang dipijakinya. Bulan mendapati mereka saling mengejat.
Masih dihinggapi rasa takut yang besar, Bulan mengikuti apa yang kedua orang tuanya lakukan. Seluruh tubuh Bulan pun mengejat, menolak sekaligus menerima kematian yang tidak akan lama lagi menghampirinya.
Bulan mulai kesulitan bernafas, paru-parunya terasa sangat panas. Ia merasakan seluruh wajahnya menghitam. Bulan semakin takut, Bulan belum siap, Bulan terus mengejat.
Lalu tali yang menggantung lehernya terputus dan menjatuhkan Bulan ke lantai. Bulan terbatuk-batuk. Ia mengambil udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Bulan mulai merasakan udara dan darah mengalir lagi ke seluruh tubuhnya.
Di tengah ketakutannya yang belum reda, Bulan melihat kedua orang tuanya sudah tidak lagi mengejat. Ibu dan ayah terdiam menggantung di tali. Kedua mata mereka membelalak, lidah keduanya terjulur berwarna hitam. Ibu dan Ayah sudah berhasil kembali.
Bertahun-tahun setelah kejadian itu, entah berapa puluh kali Bulan mencoba menggantungkan tubuhnya dengan tali. Bulan sudah lebih siap untuk kembali dan tidak lagi takut, namun selalu saja tali yang menggantung tubuh Bulan terputus. Seperti apa yang terjadi pagi ini.
Bulan sangat rindu dongeng Ibunya sebelum tidur. Bulan rindu menikmati pagi di kota yang sibuk bersama Ayah. Bulan ingin menyusul kedua orang tuanya. Tapi Tuhan yang menciptakan Bulan dari penderitaan masih saja menghalangi Bulan. Bulan yang lahir dari penderitaan dan Bulan hidup dalam genangan penderitaan. Bulan membakar semua tali yang selama ini membuatnya gagal menyusul Ibu dan Ayah. Aku akan menggunakan cara lain, batin Bulan.[]
Tragis….