• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Tuesday, 23 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Bulan yang Lahir dari Penderitaan

Amina Gaylene by Amina Gaylene
30 December 2020
in Cerpen
1
Gambar Artikel Bulan yang Lahir dari Penderitaan

Sumber Gambar: https://www.behance.net/gallery/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Pagi bersama embun yang menguap dan sinar matahari yang membuat kesulitan hidup semakin terlihat, Bulan mengutuki dirinya dan Tuhan yang sudah menciptakannya.

Bulan teduduk di sudut kamar, Ia menatap lamat-lamat tali yang terputus di genggamannya. Sebelumnya Bulan sudah sangat yakin bahwa tali yang digunakannya cukup kuat untuk menggantung lehernya, setidaknya sampai nyawanya meregang. Tapi ketika bulan menghempaskan kursi yang dipijakinya, hanya berselang 10 detik saja tali yang menggantung lehernya terputus dan menjatuhkan tubuh serta seluruh keputusasaannya ke lantai yang dingin. Padahal Bulan sudah merasakan panas membakar paru-parunya.

Saat itu, Bulan merasa Tuhan mengejeknya, “Cih, begitulah nasib orang yang keras kepala. Sudah kubilang ini bukan saatnya kamu mati.”

Sambil menahan air mata yang sebenarnya sudah tak terbendung lagi, Bulan mendelikkan matanya ke atas. Kepada kuasa yang sangat agung di atas sana.

* * *

Bulan adalah gadis yang sangat ceria. Ia memiliki keluarga yang hangat dan menyayanginya sepenuh hati. Ibunya selalu menceritakkan kisah cinta bersama ayahnya semasa muda sambil mengelus kepala Bulan sebelum akhirnya tetidur di pelukan hangat ibu.

Ibu Bulan selalu mengatakan bahwa satu-satunya kisah bahagia dalam hidupnya adalah masa ketika ia berpacaran dengan ayahnya, sehingga hanya itulah dongeng yang dapat ibunya ceritakan kepada Bulan menjelang tidur. Tapi Bulan tidak apa-apa, ia tidak pernah merasa bosan dan selalu mendengar dengan antusias walaupun Bulan sudah hafal setiap kata yang akan ibunya lontarkan.

Sedangkan ayahnya setiap pagi selalu menggendongnya berjalan-jalan menikmati udara pagi dan memperhatikan semua orang yang tampak terburu-buru mengejar sesuatu yang tidak pernah ia ketahui. Ayahnya membuat Bulan menikmati waktu yang sangat lambat di tengah aktivitas kota yang sangat cepat.

Setelah jalan-jalan pagi, Ayah, Ibu dan Bulan pergi ke penampungan sampah di mana mereka akan mendapatkan cukup uang untuk makan malam. Ayah dan ibu akan mengumpulkan botol-botol plastik, sedangkan Bulan, Ia akan mengumpulkan semua hal yang menarik perhatiannya. Boneka, alat-alat elektronik, sepatu, baju, walaupun semuanya sudah rusak dan bau.

Ketika sore menjelang, Ayah, Ibu dan Bulan kemudian pergi ke tempat di mana mereka akan membayar semua botol plastik yang sudah dikumpulkan. Setelah berhasil menjualnya, Ayah, Ibu dan Bulan mendapati senyum merekah di wajah seraya membayangkan menu makan malam yang lezat.

Begitulah kehidupan Bulan terus berulang dan membuatnya menjadi gadis yang sangat ceria.

Hingga suatu hari, Ayah dan Ibu Bulan berubah menjadi sosok lain yang tidak ia kenali. Ibu tidak pernah berkisah lagi untuk mengantarkan Bulan tidur dan Ayah tidak pernah lagi menggendong Bulan berjalan-jalan menikmati kota pagi hari.

Ibu dan Ayah Bulan berhenti berbicara pada Bulan. Satu-satunya kalimat yang sering dikatakan oleh Ibu dan Ayah Bulan sejak mereka berubah adalah, “Kamu tidak diciptakan untuk kebahagiaan, kamu akan dilihat oleh dunia sebagai bukti bahwa penderitaan itu nyata.”

Bulan sama sekali tidak mengerti mengapa Ibu dan Ayahnya berubah. Apakah Bulan membuat kesalahan? Bulan tidak tahu.

Pada Selasa siang, atau mungkin Sabtu, Bulan tidak pernah benar-benar mengingat hari, Ibu dan Ayah tidak pergi ke penampungan sampah. Mereka hanya duduk di kursi sambil tidak berbicara satu sama lain. Bulan memperhatikan Ibu dan Ayah. Bulan melihat air mata menetes di ujung mata sang Ayah, namun Ayah buru-buru menghapusnya. Sedangkan Ibu, wajahnya tidak memiliki ekspresi. Itu bukan lagi Ibu, pikir Bulan. Ibu pasti diculik dan ini adalah Ibu palsu.

Lalu Ayah beranjak dari kursi, mulai menyiapkan tali entah untuk apa. Ayah menggantungkan tiga tali pada atap kayu. Dua tali lebih pendek dan satu tali lebih panjang. Sesekali Ayah melihat ke arah Ibu dan Bulan seperti menimbang-nimbang. Bulan tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dilakukan Ayahnya.

Setelah tali siap, Ayah menyimpan masing-masing satu kursi di bawah tali. Sampai di sini Bulan sedikit mengerti apa yang akan dilakukan Ayahnya.

Apakah Ayah sedang mengajak Bulan bergurau seperti sinetron? Tapi wajah Ayah tidak menunjukkan gelagat sedang bermain. Satu hal yang Bulan tahu saat itu adalah bahwa Bulan mulai ketakutan, Bulan mulai menangis. Tapi Ayah dan Ibu tidak berusaha menghentikkan tangisan Bulan. Ayah hanya menatapi tali yang sudah dipasangnya sedangkan Ibu menunduk, tapi bukan sedang berdo’a.

Ibu mulai beranjak dan menggendong Bulan lalu menaikkannya ke atas kursi di bawah salah satu tali yang lebih panjang. Bulan tidak berhenti menangis. Ia semakin takut. Seraya menangis Bulan berkata pada Ibunya, “Bu, Bulan ngantuk. Bulan ingin tidur. Ayo ceritakan kisah cinta Ibu dan Ayah agar Bulan Tidur, Bu….” Tapi ibu tidak memberi tanggapan apapun.

Ibu menatap Bulan lamat-lamat lalu butir demi butir air mengalir dari mata Ibu. Tampak ibunya mulai memiliki ekspresi lagi yang kemudian membuat Bulan sadar kalau Ibu benar-benar ada di sini. Ibu tidak diculik.

Ibu mengecup kening Bulan, “Bulan, kamu adalah anak yang sangat Ibu dan Ayah Banggakan. Kamu adalah anugerah terbesar untuk kami. Tapi jika kamu diciptakan bukan dari kebahagiaan, untuk apa kamu tetap bertahan hidup sembari merasakan derita demi derita menghantammu. Lebih baik kita kembali.”

Belum saja Bulan mengerti ia harus kembali ke mana. Ibu sudah beranjak lagi dan naik ke atas kursi di bawah tali yang lebih pendek. Di sampingnya, sang Ayah sudah berdiri siap dan menatap kepada kekosongan. Ayah dan ibu lalu menyimpan ujung tali melingkar—yang juga sudah disiapkan oleh Ayah—ke leher. Ibu melihat ke arah Bulan dan menyuruhnya melakukan hal yang sama.

Bulan masih menangis, walaupun lebih pelan dan melakukan apa yang Ibunya perintahkan. Tidak berselang lama, Ibu dan ayah mengempaskan kursi yang dipijakinya. Bulan mendapati mereka saling mengejat.

Masih dihinggapi rasa takut yang besar, Bulan mengikuti apa yang kedua orang tuanya lakukan. Seluruh tubuh Bulan pun mengejat, menolak sekaligus menerima kematian yang tidak akan lama lagi menghampirinya.

Bulan mulai kesulitan bernafas, paru-parunya terasa sangat panas. Ia merasakan seluruh wajahnya menghitam. Bulan semakin takut, Bulan belum siap, Bulan terus mengejat.

Lalu tali yang menggantung lehernya terputus dan menjatuhkan Bulan ke lantai. Bulan terbatuk-batuk. Ia mengambil udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Bulan mulai merasakan udara dan darah mengalir lagi ke seluruh tubuhnya.

Di tengah ketakutannya yang belum reda, Bulan melihat kedua orang tuanya sudah tidak lagi mengejat. Ibu dan ayah terdiam menggantung di tali. Kedua mata mereka membelalak, lidah keduanya terjulur berwarna hitam. Ibu dan Ayah sudah berhasil kembali.

Bertahun-tahun setelah kejadian itu, entah berapa puluh kali Bulan mencoba menggantungkan tubuhnya dengan tali. Bulan sudah lebih siap untuk kembali dan tidak lagi takut, namun selalu saja tali yang menggantung tubuh Bulan terputus. Seperti apa yang terjadi pagi ini.

Bulan sangat rindu dongeng Ibunya sebelum tidur. Bulan rindu menikmati pagi di kota yang sibuk bersama Ayah. Bulan ingin menyusul kedua orang tuanya. Tapi Tuhan yang menciptakan Bulan dari penderitaan masih saja menghalangi Bulan. Bulan yang lahir dari penderitaan dan Bulan hidup dalam genangan penderitaan. Bulan membakar semua tali yang selama ini membuatnya gagal menyusul Ibu dan Ayah. Aku akan menggunakan cara lain, batin Bulan.[]

Tags: bunuh diricerpenironikeluarga
ShareTweetSendShare
Previous Post

Problematika I’m Okay

Next Post

Rasa Berbahan Sutera

Amina Gaylene

Amina Gaylene

Tulisan-tulisan Amina Gaylene membentang dari cerpen, artikel, hingga naskah pertunjukkan yang dapat ditemui di berbagai media daring. Amina Gaylene kini sedang fokus pada kajian-kajian dekolonial serta fokus meriset Rajah Sunda Wiwitan dalam rangka melihat taktik, resistensi, dan kerja perawatan masyarakat melalui puitika. Tulisan terbarunya mengeksplorasi naskah-naskah Silvia Federici sebagai gagasan alternatif dalam membentangkan kapitalisme dan kaitannya dengan represi, eksploitasi, dan kontrol terhadap tubuh perempuan.

Artikel Terkait

Perempuan yang Menghapus Namanya
Cerpen

Perempuan yang Menghapus Namanya

30 November 2025

Kadang aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar ada atau hanya tinggal dalam kepala dan dada seseorang yang terlalu sering menulis namaku?...

Gelembung-Gelembung
Cerpen

Gelembung-Gelembung

19 November 2025

Gelembung-gelembung itu terus mengudara dan semakin tinggi diterpa angin pagi. Perlahan satu per satu jatuh dan pecah, namun ada yang...

Dua Jam Sebelum Bekerja
Cerpen

Dua Jam Sebelum Bekerja

21 September 2025

Hujan belum menunjukkan tanda reda. Aku menyeduh kopi lalu termenung menatap bulir-bulir air di jendela mess yang jatuh tergesa. Angin...

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 July 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Comments 1

  1. Kang Didi tea says:
    5 years ago

    Tragis….

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Di Balik Bilik Kamar

Di Balik Bilik Kamar

12 March 2021
Gambar Artikel Puisi Hikayat Jenderal Koruptor

Hikayat Jenderal Koruptor

31 January 2021
Gambar Artikel Menghindari Kata Sibuk

Menghindari Kata Sibuk

22 January 2021
Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

7 December 2021
Resiko Tinggal di Ujung Kalimantan

Resiko Tinggal di Ujung Kalimantan

4 June 2021
Gambar Artikel Rekomendasi Playlist Lagu untuk mensyukuri Galau

Playlist Lagu Untuk ‘Mensyukuri’ Kegalauanmu

16 June 2021
Makassar dalam Arus Niaga Internasional

Makassar dalam Arus Niaga Internasional

13 March 2022
Gubuk Sajak

Gubuk Sajak

16 March 2021
Gambar Artikel Serba Serbi Kota Kupang. Bundaran PU.

Serba-Serbi Kota Kupang

5 December 2020
Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan

15 July 2021
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Menjajaki Pameran Seni Islam di Seoul
  • Perempuan yang Menghapus Namanya
  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (218)
    • Cerpen (56)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (50)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (14)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.