Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al Maturidi itu nama lengkap dari Abu Mansur al-Maturidi. Ia merupakan tokoh Teologi Islam bermazhab Ahlusunnah wal Jamaah Khalafiah. Kelahiran beliau sangatlah misteri (tidak ada yang bisa memaparkan secara pasti atau secara detail atas kelahiran Abu Mansur al-Maturidi. Namun, perkiraan lahirnya beliau yakni sekitar 248 H/ 862 M. Beliau hidup di masa penguasa Samarkand, salah satu dari keluarga Samarkand yang pernah berkuasa ialah Asad Bin Saman, keluarga tersebut memiliki perilaku sopan, jujur, cinta ilmu, serta menjunjung tinggi para ulama. Abu Mansur al-Maturidi wafat dan di makamkan di wilayah Samarkand pada 333 H/ 944 H (Izzatu Tazkiyah, 2018).
Dimasa hidup Abu Mansur al-Maturidi sangatlah produktif dalam menulis karya ilmiah yakni Kalam, Tafsir, serta Ushul. Akan tetapi ada 2 karya besar dari Abu Mansur al-Maturidi ialah Kitab al-Tawhid dan Tafsir Maturidi. Konsep penulisan dari kitab al-Tawhid sangatlah unik yakni disusun dengan konsep atau skematika penulisan yakni tema demi tema, sangatlah jauh berbeda dengan di era modern ketika menulis sebuah karya ilmiah yang memiliki konsep atau sistematika penulisan yakni bab demi bab. Ada 2 keistimewaan dari kitab al-Tawhid yakni Pertama, dalam pembahasan kitab al-Tawhid telah mencakup hamper seluruh pemikirannya di bidang kalam. Kedua, kitab al-Tawhid telah disusun sekitar seribu tahun lebih yang lalu, namun hingga saat ini kita masih bisa menikmati kitab dari al-Maturidi khususnya kitab al-Tauwhid.
Mengenai karya-karya dari Abu Mansur al-Maturidi yang lainnya, yakni:
- Bidang Kalam: Kitab al-Tawhid, kitab Rad Awail al-Adillah li al-Ka bi, kitab Radd wa’ad al-Fussaq li al Ka bi, kitab Rad Thahab alJadal li al-Ka bi, kitab Raddu al-Aimamah liba’di al Rawafid, kitab Radd al Ushul al Khamzah li Abi Muhammad al-Bahlili, serta alRadd ala al Qaramithah.
- Tafsir: Kitab al-Tawilat al-Maturidiya fi Bayani Ushul Ahl al-Sunah wa Ushul al- Tauwhid.
- Ushul: Kitab al Jaddal fi Ushl Fiqh, Kitab al-Ma’akhiz al Sharai fi al-Fiqh, al Ma’akhid al Shara’i fii Ushul Fiqh (Hamka, 2007).
Kita beragama Islam sudah jelas mengetahui Syafaat. Syafaat tidaklah asing bagi kita, di kehidupan sehari-hari tentu saja kita sangat sering dijumpai kata syafaat. Seperti halnya kata syafaat yang sering kali dilontarkan oleh masyarakat yakni, “Ayo bershalawat supaya mendapatkan syafaat”, dan “semoga kita mendapatkan syafaat”.
Syafaat memiliki arti meminta kebaikan untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Kebaikan terkadang berupa mendatangkan manfaat. Contohnya: Saya meminta agar gaji guru untuk di naikkan, ketika saya melihat usaha guru untuk mendidik siswanya supaya menjadi seseorang yang luar biasa, berguna nusa dan bangsa. Jasa guru begitu besar tetapi gajinya, cukup memprihatinkan. Oleh karena itu, saya meminta gaji guru supaya dinaikkan.
Rasulullah mengatakan yang artinya: “Aku diberi 2 pilihan oleh Allah yaitu syafaat, atau separuh umatku masuk surga. Namun, aku memilih syafaat. Sebab syafaat itu lebih luas dan lebih banyak. Apakah kalian mengira syafaatku itu hanya untuk orang-orang bertaqwa? Tidak, akan tetapi justru syafaatku aku berikan kepada orang-orang pelaku maksiat, pelaku dosa, dan orang penuh kesalahan”. (HR. Tirmidzi).
Rasulullah memberi syafaat bukan berarti langsung ditolong, tetapi Rasulullah minta kepada Allah “ya Allah selamatkan lah umatku itu”. Jadi syafaat ialah perantara menolong (rekomendasi). Lalu kemudian syafaat memiliki syarat-syarat, antara lain:
- Orang yang memberi syafaat harus mendapatkan izin dulu dari Allah, seperti yang tertulis di ayat kursi. Artinya: Dan tidak ada yang mampu memberi syafaat, kecuali dapat izin dari Allah.
- Orang yang dikasih syafaat itu harus dapat ridho dari Allah. Seperti yang dituliskan di dalam al-Qur’an (Qs. An-Najm) yang Artinya: Dan tidak ada manfaat syafaat-syafaat, kecuali setelah Allah mengizinkannya dan mendapatkan ridho.
Syarat orang yang di ridhoi Allah itu ada 2. Pertama ahli tauhid atau aqidah nya harus benar. Kedua, ibadahnya sesuai tuntunan Rasulullah.
Dalam pandangannya Abu Mansur al-Maturidi mengenai syafaat ternyata sama halnya dengan pandangannya al-Asy’ariyah. Syafaat telah ditujukan pada para pendosa, penzina, serta orang-orang yang penuh dengan kesalahan, tujuannya ialah supaya dosa-dosa yang ada pada dirinya telah diampuni oleh Tuhan. Dengan adanya syafaat Rasul, seseorang tidak akan selamanya berada di neraka, sebab Rasulullah telah meminta pada Allah untuk mengangkat umatnya. Syafaat Rasul bisa saja menjadi motivasi seseorang untuk meninggalkan perbuatannya yang bersifat negatif misal: zina, judi, mabuk, dan sebagainya.
Akan tetapi, ada juga seseorang yang menunda-nunda untuk bertaubat, dia akan melakukan perbuatan sesuka hatinya, serta akan terus-menerus berbuat dosa sampai ajal menyemputnya. Sebab mindset mereka sudah tertanam akan manfaatnya syafaat rasul. Disisilain, orang-orang tersebut tidak menyadari bahwasannya untuk mendapatkan syafaat Rasul itu ada syarat-syaratnya (Aditya Andrian, 2012).
Di atas telah dipaparkan syarat untuk mendapatkan syafaat Rasul yakni, orang yang memberi syafaat harus mendapatkan izin dari Allah, serta orang yang diberi syafaat itu harus mendapatkan ridho dari Allah SWT. Nah, disini untuk mendapatkan ridho dari Allah itu ada 2 syarat. Pertama Ahli tauhid atau Akidahnya harus benar, artinya orang tersebut tidak boleh menduakan Allah karena umat Islam di didik Rasulullah untuk menjadi orang yang cerdas maka tidak sepatutnya kita menduakan Allah. Kedua, ibadahnya seseorang harus sesuai dengan Rasulullah. Nah, supaya ibadahnya sesuai Rasulullah maka kita harus memperhatikan 6 hal penting, 6 hal ini saya dapat ketika mengikuti salah satu pengajaian. Sebagai berikut:
- Perhatikanlah tempat ibadah, kalau Rasulullah sudah menentukan tempat ibadah maka jangan diganti-ganti nanti malah salah. Contoh: Islam hanya mengajari 1 tempat untuk haji yakni di Makah.
- Waktu, Rasulullah kalau sudah menentukan waktu ibadah maka jangan diganti-ganti.
- Bilangan atau jumlah, Rasulullah kalau sudah menentukan bilangan ibadah jangan diganti, kalau diganti nanti akan salah. Contoh: ada orang sholat subuh dan saking ikhlasnya melakukan sholat lalu ditambahi menjadi 3 rakaat nah ini yang menjadi salah.
- Ukuran, Rasulullah kalau sudah menentukan ukuran ibadah maka jangan diganti, hal ini seringkali berhungan dengan pembagian warisan, atau nisab zakat.
- Jenis, Rasulullah kalau sudah menentukan jenis ibadah maka jangan diganti.
- Tatacara, jadi kalau kita mengaku umatnya nabi maka tatacara ibadah kita harus sesuai dengan nabi.