Harapan untuk lulus dengan sempurna menjadi impian setiap mahasiswa. Lulus dari bangku kuliah dapat dikatakan sebagai pencapaian tertinggi bagi para mahasiswa yang berjuang demi gelar yang terselip di antara nama terangnya. Meskipun dalam hidup, ada beragam capaian lainnya selain tentang lulus kuliah. Namun setidaknya lulus kuliah secara terhormat masih lebih baik dibandingkan keluar kuliah dengan cara kurang terhormat atau drop out.
Lulus kuliah secara terhormat tersebut tentu saja terdapat berbagai rintangan yang perlu ditempuh oleh seorang mahasiswa. Salah satunya yakni pembuatan tugas akhir perkuliahan, baik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi sesuai jenjang yang ditempuh. Selama pengerjaan tugas akhir tersebut tentu saja tidak semudah mengedipkan mata layaknya seorang pesulap. Mahasiswa akan dihadapkan dengan berbagai lika-liku yang cukup mengharukan jika dijadikan sebuah novel. Salah satu diantaranya yakni menjalin hubungan dengan dosen pembimbing.
Nah, kunci paling penting dan sangat mendasar demi suatu kesuksesan dalam pengerjaan tugas akhir adalah menjalin komunikasi yang harmonis dengan dosen pembimbing. Kenapa begitu? Sebab, dosen pembimbing merupakan tonggak awal sekaligus kawan utama yang akan mengiringi lika-liku kisah kelulusan mahasiswa. Oleh karena itu, menjalin komunikasi yang baik dengannya amatlah penting untuk diperhatikan.
Habermas selaku sosiolog kritis memiliki gagasan yang cukup menarik untuk menawarkan bagaimana komunikasi itu harus dilakukan. Kenapa dikatakan menarik? Sebab, Habermas lebih mengedepankan prinsip emansipatoris dalam perilaku komunikasinya (Listyono Santoso, 2019: 234). Habermas memiliki berbagai tawaran mengenai bagaimana tindakan komunikatif itu harus hadir dalam masyarakat. Cita-cita tertingginya yakni dapat terwujudnya masyarakat komunikatif yang bebas dari segala dominasi (Listyono Santoso, 2019: 240). Termasuk juga perilaku komunikatif antara mahasiswa dengan dosen pembimbingnya.
Gagasan komunikasi yang baik ala Habermas ini tentu saja sangat bermanfaat jika diterapkan dalam hubungan antara mahasiswa dengan dosen pembimbingnya. Sebab, dalam gagasannya memuat berbagai langkah komunikasi yang seharusnya dilakukan oleh keduanya. Lantas bagaimana masyarakat komunikatif tersebut? Terutama dalam konteks perilaku komunikatif antara mahasiswa dengan dosen pembimbingnya?
Tindakan yang paling mendasar dan perlu diketahui bersama dalam suatu komunikasi yakni untuk selalu melakukan introspeksi pada diri sendiri. Introspeksi diri atau refleksi diri mampu menjadi jembatan untuk menemukan segala hal yang mungkin tidak ditemukan sebelumnya pada diri sendiri. Secara tidak langsung, refleksi diri dapat menghindarkan diri dari perilaku nyinyir, merengut, komentar yang tak berfaedah dan lain sebagainya pada dosen pembimbing. Justru sebaliknya, melalui refleksi diri maka mahasiswa akan selalu berpikir yang berorientasi pada pengembangan kualitas pada dirinya. Sebab di dalam refleksi diri antara pengetahuan dan kepentingan dapat menyatu. (Listyono Santoso, 2019: 235)
Refleksi diri dapat dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai diri sendiri dalam mencapai kelulusan perkuliahan. Sampai manakah upaya yang dilakukan untuk lulus kuliah? Bahan apa yang telah disiapkan untuk ke depan? Seberapa siapkan knowledge pada diri untuk berdiskusi bersama dosen? Berapa referensi yang telah disiapkan untuk pengerjaan tugas akhir? Dan refleksi diri lainnya yang mungkin perlu disadari oleh setiap mahasiswa. Melalui berbagai pertanyaan tersebut akan dapat memunculkan perilaku kritis terhadap diri sendiri (Budi Hardiman, 1993: 55-58)
Jika refleksi diri telah dilakukan, maka selanjutnya yang perlu dilakukan yakni dialog / komunikasi bersama antara mahasiswa dengan dosen pembimbing. Adanya dialog bersama antara mahasiswa dengan dosen pembimbing merupakan bentuk penunjang kelulusan yang amat nyata. Semakin intensif berdialog, berdiskusi atau berbicara bersama dosen pembimbing maka sangat menunjang kualitas kelulusan mahasiswa. Semakin sering berdialog bersama dosen pembimbing, maka akan menunjukkan seberapa kesungguhan mahasiswa dalam meraih kelulusan. Ditambah juga dapat menunjukkan bagaimana pola komunikasi yang harmonis di antara mahasiswa dengan dosen pembimbing.
Sedangkan tujuan utama dari adanya dialog bersama antara mahasiswa dengan dosen pembimbing yakni terwujudnya konsensus bersama mengenai berbagai aspek yang terkait dengan kelulusan. Sehingga tidak ada lagi namanya miskomunikasi. Terlebih, tidak ada lagi saling tuduh-menuduh, merengut, menggerutu maupun pertikaian tiada henti.
Lebih dari itu, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam adanya dialog antara mahasiswa dengan dosen. Aspek mendasar yang harus dilakukan dalam berdialog adalah terjaminnya kebebasan berpendapat antara mahasiswa dan dosen pembimbing. Demi mencapai konsensus bersama, maka seharusnya setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat. Antara mahasiswa dan dosen pembimbing harus memiliki kebebasan menyampaikan pendapatnya dalam berdialog. Tidak boleh ada elemen atau situasi tertentu yang mengekang salah satu pihak untuk menyampaikan pendapat.
Kebebasan berpendapat ini dapat menjadi wadah untuk mengeluarkan segala isi di kepala maupun di hati antara keduanya. Terlebih, kebebasan dalam berpendapat menjadi jembatan untuk eksplorasi gagasan dan pemikiran, maupun melalui argumen yang dimiliki mahasiswa atau dosen. Sehingga baik dari mahasiswa maupun dosen pembimbing tidak sampai timbul rasa yang mungkin tidak diinginkan.
Aspek lain yang tidak kalah penting dan harus diperhatikan juga adalah tidak boleh ada dominasi antara mahasiswa dan dosen pembimbing. Dosen tidak boleh menjadi pihak yang merasa memiliki dominasi pada mahasiswa, begitupun sebaliknya pada mahasiswa yang tidak boleh seenaknya saja dalam menyelesaikan tugas. Komunikasi antara dosen pembimbing dengan mahasiswa harus berjalan secara setara. Keduanya harus hadir ibarat sahabat karib yang tidak kenal siapa yang tinggi dan siapa yang rendah. Keduanya harus berjalan secara selaras, gotong-royong, bahu-membahu tanpa ada dominasi diantara keduanya. Keadaan seperti itulah yang dikatakan sebagai komunikasi tanpa penguasaan (Listyono Santoso, 2019: 237).
Kenapa harus begitu? Alasan yang paling mendasar adalah jika salah satu pihak ada yang merasa lebih tinggi dibandingkan yang lain, maka yang terjadi hanyalah tindak kesewenang-wenangan secara sepihak. Apalagi tindak intimidasi yang merugikan salah satu pihak. Tentu saja berbagai tindakan tersebut tidak diharapkan terjadi dalam suatu komunikasi antara mahasiswa dengan dosen pembimbing. Agar tidak terjadi tindakan yang tidak diinginkan maka sangat tidak diperkenankan adanya dominasi dalam suatu komunikasi.
Kebebasan dalam berpendapat dan tidak adanya dominasi dalam komunikasi merupakan kunci dari terciptanya masyarakat komunikatif seperti yang diimpikan Habermas (Listyono Santoso, 2019: 240). Begitupun yang terjadi pada mahasiswa dan dosen pembimbingnya. Keduanya perlu menerapkan prinsip-prinsip perilaku komunikatif dalam setiap hubungannya. Sebab melalui prinsip tersebut mampu menjalin komunikasi yang membebaskan.
Tentu saja setiap mahasiswa pasti sangat mendambakan kelulusan terbaik baginya. Berbagai halangan rintangan harus ditepis dengan jerih payah guna kemudahan kelulusan. Tidak luput juga hubungan bersama dosen diharapkan dapat berlangsung dengan penuh komunikatif. Sebab, hubungan yang komunikatif tersebut sangat menunjang kelulusan bagi setiap mahasiswa.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi,. 1990. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Santoso, Listiyono, dkk,. 2019. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.