Hidup ini asyik-asyik-asyu, lur. Bagaimana tidak? Yang kau pertahankan setengah mampus mencintainya, ternyata esok pagi pergi meninggalkanmu seorang diri. Sedang yang kau benci dan jauhi sepenuh jiwa, tiba-tiba lusa datang dan kau jatuh cinta kepadanya. Goblok ndadak.
Tak perduli gelarmu sepanjang kereta, ilmumu setinggi langit, dan batinmu sedalam samudra, di hadapan jatuh cinta, semua kesaktianmu hancur tak berguna.
Maka dari itu pendidikan tidak begitu penting–tidak utama tapi tetap diperlukan–dalam urusan cinta. Kecuali jika sudah menyangkut mertua. Beda ranah lagi. Kariermu kudu jelas, mentereng, kalau bisa ya minimal rumah tiga lah, punya mobil barang satu-dua merk, ditambah aset non-tunai lain seperti pangkat dan kedudukan struktural. Itu kan disebut ‘mengangkat derajat’ mertua. Wibawa keluarga harus naik, dong. Alias menuju mapan semapan-mapannya.
Ealah, kok malah nyinyir begini. Mungkin responmu pendek: arek kementus. Masih banyak di luar sana yang begitu tulus menanti peminang anaknya tanpa memandang status dan gaji. Yang penting kalau Subuh bangun itu saja sudah wah. Tapi lagi-lagi, spesies macam itu akan terhimpit dengan sendirinya oleh atmosfer sosiokultur masyarakat modern zaman now. Cepat atau lambat, rasa pekewuh akan muncul sehingga mereka pun akan terbawa arus mainstream menagih ini itu.
Namun di mana-mana ya masih ada lah, yang namanya anomali. Pengecualian. Istitsna’ kalau dalam bahasa Nahwu—beda dengan istishna yang kaitannya menyangkut akad jual beli. Dalam realitas sosial, keluarga petani dan warga desa-lah yang masih banyak berlaku sahaja dalam menerima mantu. Lagi-lagi ada tapinya: asalkan anaknya sudi menerimamu. Heuheu.
***
Agar tidak ndliwar ke sana kemari, fokus gibah yang ingin kuutarakan padamu sebenarnya adalah keterputusan hubungan antara pendidikan dengan cinta. Terakhir kali yang kurasakan, pendidikan kita yang masih dinafasi oleh cinta adalah TK dan SD/MI, teman. Sesudah itu, hanya bisnis dan relasi mutual yang pragmatis belaka. Coba kau garis-bawahi kata “yang kurasakan”. Ini sepenuhnya subjektif dariku, meskipun belum tentu tidak objektif.
Yang kurasakan dari guru-guru TK dan MI-ku, mursyid-mursyidahku, adalah kasih sayang dan ketulusan membimbing anak-anak kecil. Beliau-beliau, terutama ibu-ibu guru, menunjukkan ketelatenan merawat, mendidik, dan mengajari sebagaimana seorang ibu kepada anak kandungnya sendiri. Itulah lelaku yang aku tidak bisa tidak ingat.
Tidak kaget jika selama ini aku punya kecenderungan untuk membikin “stratifikasi penghormatan”. Dan rasa hormatku terhadap guru aku balik: semakin tinggi tingkat pendidikan guruku yang mengajar aku di tingkat yang makin tinggi pula, semakin aku mereduksi rasa hormatku padanya. Vice versa, semakin ‘rendah’ tingkat pendidikan guruku yang mendidik aku di tingkat yang ‘rendah’ pula, semakin aku takzim dan selalu mendoakannya.
Singkatnya, jika kubikin perbandingan: aku lebih menghormati guru TK dan MI-ku yang mengajariku memegang pensil dan huruf-huruf, ketimbang dosen dan profesor yang hanya sedikit sekali memberiku pelajaran. Logikanya, aku tidak akan pernah bisa membaca ratusan buku, menuliskan ratusan puisi, puluhan cerpen dan esai, juga menerbitkan buku, bila tanpa bantuan guru-guru TK dan MI-ku.
Maka beginilah jadinya. Aku hanya menjadi musafir pembangkang—walau lebih sering di batin—yang tidak menelan mentah-mentah omongan siapapun. Tak perduli profesor, doktor, presiden, raja, ketua PBB, kepala Polri, dan posisi entut-berut lainnya. Sementara ke bapak kandungku sendiri saja aku sering melawan hingga pernah memaki-makinya (bukan untuk ditiru). Bahkan ke kyai-pun, entah kenapa, batinku kurang merasa deg. Tidak terpengaruh oleh segenap penakdhiman dan kisah-kisah dunia pesantren, padahal aku lulusan pesantren.
Namun, getar nuraniku justru hidup saat sowan ke Bu Masna, guru MI-ku di Kedungpeluk. Sosok yang tetap menjadi orang biasa: pergi mengajar, pulang dari sekolah lanjut ke sawah mencari rumput untuk kambingnya. Tidak pernah mripatku tidak mbrabak saat salim ke beliau, teman. Saat gondrong pun aku menahan-nahan diri agar airmataku tak tumpah. Rasa trenyuhku timbul bukan karena simpati pada upah honorer beliau, melainkan karena kekagumanku yang bercampur rasa syukur dan bangga, karena aku masih diakui sebagai muridnya. Takkan pernah aku bisa meniru laku hidup beliau, teman. Takkan pernah bisa.
***
Begitulah bentuk pilih kasihku, sobat. Guru boleh pilih kasih, otomatis murid juga. Lagi pula, berapa guru sih yang aku akrab kepada beliau-beliau? Kau tau sendiri kepribadianku yang suka ngumpet. Aku tidak dikaruniai bakat untuk bisa akrab pada guru, ustadz, apalagi kyai, dosen, dan profesor.
Semasa MI, apalagi TK, aku belum paham apa itu frase golek rai. Mungkin karena tak paham itulah, aku tidak punya DNA untuk mampu menerapkannya. Baru saat menjelang dewasa, aku menyadari bahwa di zaman ini, asal kau mampu bersolek, merias bibirmu dengan puja sana puji sini ke orang-orang tertentu—terutama ke ‘orang-orang (sok) penting’—perjalanan kariermu akan lekas naik daun. Oh, Gusti, karier, lur…. Wa ma adroka ma karier? Hahaha. Ndogmu pecah! Mungkin begini kalau jawaban Jaja, sobat kita.
Jika aku boleh curiga, agaknya sejak era kuno dahulu, kemampuan kamuflase dan golek rai sudah mbalung sumsum di sebagian diri manusia. Apabila kau memilikinya, setidaknya kau akan terjauhkan dari nasib Sisifus yang dikutuk mendorong batu sambil mendaki ke bukit, kemudian jatuh, bangun, dorong lagi, gelinding lagi, sampai seterusnya. Tidak beda jauh seperti Pak Legiman yang setiap dini hari pergi beranjak ke sawah, ngelep, macul, pulang, nyawah lagi, dan seterusnya.
Meski demikian, yang begitu itu perlu ketekunan, Ponk. Tidak sembarang orang bisa seperti Pak Legiman. Coba suruh Lord Luhut pada pukul dua dini hari memakai kaos partai manapun, kerahnya dinaikkan ke kepala untuk menahan dingin, lantas memikul cangkul, memakai sepatu boot (kalau punya), dan kemudian lewat ke gerdu desa menyapa pemuda yang ronda main remi dengan kalimat: dines sek yo, Le! Jika ia bisa dan kuat selama satu kali panen saja, rekor MURI mungkin akan mencatatnya sebagai “Menteri yang Kuat Manol dan Ngelep“. Itu sekadar bukti betapa luar biasanya jadi petani. Mereka orang-orang pilihan dan dikasihi Allah. Kalau kau pengen, tapi tidak akas, mending bunuh niatmu untuk jadi petani.
Ladalah, dari cinta, pendidikan, kok sekarang malah bahas petani? Kan sudah kupagari kalimat awal dengan “hidup ini asyik-asyik asyu”. Maka biarkan saja sporadis begini. Acak berlompatan seperti pikiran kita. Nanti juga bakal ketemu garis sambungnya. Benang merahnya. (Tenang, Allah Maha-mengajari hamba-hambaNya. ‘Allamal insana ma lam ya’lam.)
Salah satu bocoran garis hubungnya, umpamanya, soal kenyataan kisah cinta bahwa mulai dari Yusuf-Zulaikha, Layla-Majnun, Romeo-Juliet, Zainuddin-Hayati sampai yang terkini Ri Jung Hyuk-Yoon Se Ri, manusia tidak dapat menjadi manusia seutuhnya jika ia menempuh pendidikan tanpa disertai rasa cinta. Sama dengan sebaliknya: cinta tanpa disertai kecakapan dan pendidikan, hanya akan membuahkan pertengkaran demi pertengkaran yang kelak mungkin akan melahirkan Da Kyung-Da Kyung baru seperti di drama The World of The Married. Tentu pendidikan di situ yang kumaksud adalah pendidikan dalam arti luas. Bukan pendidikan sekolah thok.
Jika pendidikan dimonopoli oleh sekolah saja, ya jelas nelangsa para leluhur dan teladan panutan jaman baheula yang belum pernah mengenyam bangku sekolah. Apa akan setega itu kita menyebut, “mbahmu goblog, buyutmu goblog, canggahmu kenthir, warengmu ndoto, udheg-udhegmu pelo, gantung siwurmu bodho, gropak senthemu rapote abang, dan debhog bosokmu pekok,” hanya karena belum ada sekolah (formal/official) di masa itu?
Silakan kalau berani. Anak-anak muda kita sekarang, toh, tidak segan-sungkan menyitir ungkapan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara yang berbunyi, “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” lalu diganti menjadi: ing ngarso mangan konco, ing madyo numpuk bondho, tut wuri golek rai. Di depan memangsa sesama, di tengah menimbun harta, di belakang parade mencari muka.[]
Kembangsore-Mojokerto, 11 Juni 2020