Peristiwa pembuangan Bung Karno di Ende, mungkin belum banyak mendapat sorotan. Peristiwa ini belum seheboh peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta yang dilakukan oleh golongan pemuda yang menghendaki Indonesia merdeka sesegera mungkin. Peristiwa ini tidak setenar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, di kota yang kecil nan mungil inilah, sebuah pemikiran besar tentang “rumah besar” bagi Indonesia dipikirkan!
Ende, sebuah kota kecil di sebelah Barat Pulau Flores. Di kota inilah, pada tahun 1934, Bung Karno dibuang oleh Belanda. Dengan menjauhkan Bung Karno dari episentrum pemikiran rekan-rekannya yang ada di Pulau Jawa, Belanda berharap dapat memadamkan api semangat yang membara—baik secara ideologis maupun revolusioner—Bung Karno untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Jadilah, Bung Karno harus mendekam selama empat tahun di tempat sepi nan terpencil ini.
Ende tidak seperti Pulau Jawa yang punya tempat-tempat hiburan. Sebagai seorang manusia, tentulah Bung Karno merasa bosan. Belum lagi, pihak Belanda sudah mengultimatum masyarakat Ende—mulai dari pembesar hingga masyarakat kecil—untuk tidak bersimpati terhadap perjuangan Bung Karno. Alhasil, hari-hari awal pembuangannya di Ende dilalui Bung Karno dengan kesepian absolut. Sampai pada akhirnya ia tiba di satu tempat: Biara Santo Yosef.
Di Biara Santo Yosef ini, terdapat sebuah bagian tempat yang menjadi ‘pemuas dahaga’ Bung Karno, yaitu perpustakaan. Statusnya sebagai ‘pesakitan politik’ lantas sempat membatasi usaha Bung Karno saat ingin ‘minum’ dari ‘sumber-sumber air’ itu. Seorang biarawan yang menjaga perpustakaan itu melarang Bung Karno masuk perpustakaan lantaran ia belum mengantongi izin.
Keributan kecil dari Bung Karno yang ngeyel ingin masuk perpustakaan dan seorang bruder yang ngotot melarang Bung Karno, rupa-rupanya didengar oleh seorang pastor, yaitu Gerardus Huijtink, SVD. Huijtink—yang banyak mendengar perjuangan Bung Karno di Jawa dari para misionaris Yesuit di Jawa—merasa senang tatkala bertemu langsung dengan Bung Karno. Tanpa pikir panjang, Huijtink lekas mempersilakan Bung Karno masuk dan membaca buku-buku di perpustakaan Biara Santo Yosef tersebut.
Ideologi yang tersedia melimpah ruah dalam buku-buku di perpustakaan biara tersebut membuat Bung Karno rela menghabiskan banyak waktunya untuk membaca. Apalagi, koran-koran misi membuat Bung Karno mampu melihat jendela dunia hanya dari lembaran-lembaran kertas. Jika bosan membaca, Bung Karno akan berdiskusi tentang teologi Kristiani, filsafat, sosiologi, politik, dan tema-tema humaniora lainnya bersama Gerardus Huijtink, SVD.
Melihat gelora seni yang membuncah dalam diri Bung Karno, Hujtink pun rela meminjamkan gudang milik Paroki Ende—sekarang menjadi Katedral Ende—sebagai tempat mementaskan 12 naskah tonil yang ditulis Bung Karno. Di Ende, Bung Karno rupanya mampu mengekspresikan bakat seninya dengan membentuk grup teater yang beranggotakan masyarakat setempat. Grup teater itu bernama Kelimoetoe Toneel Club.
Namun, peristiwa besar yang terjadi di Ende adalah, bahwa di antara sekian banyak diskusi antara Bung Karno dengan Huijtink, gagasan tentang Indonesia merdeka cukup banyak mendapatkan porsi pembicaraan. Diskusi dengan segala tema bersama Pater Huijtink serta kesempatannya membaca pemikiran para tokoh dunia membuat Bung Karno memikirkan satu ideologi besar untuk Indonesia merdeka. Dengan kekayaan budaya dan keragaman agama penduduk Nusantara, Bung Karno membutuhkan filosofi hidup bersama yang mampu menaungi kesemuanya.
Aneka diskusi dengan Pater Huijtink memantik Bung Karno memikirkan bentuk-bentuk filosofi hidup bersama yang pas bagi masyarakat Indonesia kelak. Dengan adanya filosofi hidup bersama ini, Bung Karno berharap bahwa semangat toleransi dan mengembangkan nilai-nilai perdamaian di tengah komunitas masyarakat menjadi ideologi yang dijunjung tinggi di Indonesia.
Di bawah sebuah pohon sukun di Ende, Bung Karno merenungkan sebuah filosofi hidup kolektif yang dapat menjadi ‘tempat berteduh bersama’ bagi seluruh masyarakat Indonesia. Filosofi hidup bersama itulah yang nantinya dikumandangkan Bung Karno dalam bentuk rumusan nilai-nilai dalam sidang BPUPKI, yang kemudian kita kenal dengan Pancasila.
Di kemudian hari, pada tahun 1951, saat Bung Karno kembali ke Ende sebagai Presiden Republik Indonesia, ia tidak lupa akan sosok Huijtink. Tanda terima kasih Bung Karno kepada Huijtink ternyata amat besar bagi Hujtink, yakni status Warga Negara Indonesia. Mungkin, Huijtink lah satu-satunya misionaris Katolik di Indonesia yang mendapat status Warga Negara Indonesia dari Bung Karno langsung.
Siapa sangka, perjumpaan dengan seorang misionaris di sebuah daerah kecil bernama Ende, ternyata mampu membuat Bung Karno memikirkan hal yang amat besar dan berguna bagi Indonesia kini.[]