Rumor ganas kembali muncul, dan berita itu hadir di sebuah rubrik dalam bentuk ulasan peristiwa pembakaran buku yang terjadi pada hari Rabu, tanggal 26 Desember 2018 di sebuah desa di Jawa Timur. Anehnya abu dari pembakaran itu menguar wangi ke sekujur tubuh Indonesia.
Karena ulasan yang matang harus meyakinkan dari segi faktual, maka sejumlah pihak melakukan pengusutan untuk mendapat rekaman peristiwanya secara utuh. Dari beberapa pengamatan itu, jadilah sebuah film kehidupan yang memuat kisah tentang sekelompok orang sangar, berkumis lebat, dan berseragam. Mereka golongan peresah yang keadaan hatinya baru merasa nyaman bila telah menjerumuskan siapa pun yang mereka anggap pengganggu ketertiban umum, lalu melemparkannya ke dalam siksa kawah yang membara. Konon kawah itu dihuni oleh monster api yang seluruh bagian tubuhnya berwarna merah kehitam-hitaman.
Orang yang dilempar ke kawah akan lebur lantas membaur dengan monster itu hingga sepanjang hidupnya akan terbelenggu di sana. Sosok ganas yang sebenarnya tak pernah bisa memahami isi kepalanya sendiri itu menganggap orang-orang yang berhasil keluar dari kawah dapat menjelma siluman laten yang pemikiran dan ucapannya bisa meruntuhkan negara.
Selain faktual, berita yang baik harus punya daya isap. Artinya pesan dalam kalimat-kalimatnya punya kemampuan menyedot minat dari hati yang paling dalam. Mungkin karenanya, agar meyakinkan, berita itu disajikan dengan bantuan serangkum footnote yang bisa menerangkan bahwa sosok berseragam itu mampu bertugas menjaga negara, tapi yang terlihat justru seperti boneka. Bedanya, wajah mereka tidak cantik selayaknya boneka India, tapi perihal lucunya bisa melebihi jenakanya tingkah laku polisi di film-film India.
Ketika rubrik kedua muncul, orang-orang justru menganggap kejadian itu mengandung muatan humor. Kelucuan yang dilakukan sosok berkumis lebat itu membuat kebanyakan orang terpingkal. Beberapa sosok yang lucu itu datang di acara seminar para penulis dan sejarawan, tapi mereka lupa membawa otaknya.
Peristiwa itu terjadi pada hari Selasa, tanggal 1 Agustus 2019 di sebuah tempat yang kabarnya sebagai pemutus citra kota yang belum pernah jatuh ke dalam masa kegelapan. Aku masih ingat peristiwa itu terjadi ketika negara ini sedang marak-maraknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan kaum lelaki terhadap perempuan-perempuan alim yang sebenarnya telah digadang menjadi tokoh emansipasi, namun akhirnya luruh karena keberadaannya selalu disalahmengerti. Menjadi korban tapi justru disalahkan. Ironisnya, orang-orang sangar berseragam yang seharusnya menjadi pendamping bagi korban justru lebih suka nonton youtube sembari klekaran di selasar depan penjara.
Peristiwa selanjutnya semakin aneh, karena pada saat orang-orang sangar berseragam sedang mengkhusyuki berita-berita sensasional, seketika seperti menjelma sekelompok orang peresah. Mereka seperti mendadak muncul dan tak bosan-bosannya menjebak dan menangkapi orang yang mereka anggap sebagai tokoh pengganggu ketertiban umum. Pada saat mereka berhasil menangkap orang yang diyakini berseberangan dengan negara, tibalah sesi berfoto bersama yang hasilnya diunggah dalam berita nasional, di mana efek dari foto itu akan menciutkan nyali para bocah yang sebenarnya telah punya cita-cita ingin mencerahkan jalan-jalan yang masih gelap karena kungkungan doktrin yang salah kaprah.
Tersebutlah Wis, penulis dan sejarawan yang kini sedang dalam incaran kelompok peresah itu. Entah namanya mujur atau celaka, sejak dia menjadi incaran, bicaranya menjadi quote yang punya kekuatan menumbangkan para pejabat dari segi mental. Raga Wis boleh tertangkap dan dihajar habis-habisan, tetapi kata-katanya dan tulisannya tak pernah mampu diredam. Hal itu semakin membuat berang kelompok peresah. Sedikit pun mereka tak ingin memberi keleluasaan hidup bagi orang yang punya bakat seperti Wis. Tapi Wis tak kenal takut, dari dia quote-quote baru selalu tercipta.
Dan quote yang tengah hangat berbicara mengenai libricide: sebuah tema besar tentang pemusnahan masif terhadap buku-buku. Quote Wis membahas beberapa ilmu yang saling bersinergi dalam rangka penghancuran buku yang sistematis, terlebih buku-buku gerakan ideologis yang ditunggangi sebuah rezim. Bahkan dia juga membawa suara dari Rebecca Knuth tentang pemberangusan generasi dengan menghapus kebudayaan demi kepentingan politik yang diam-diam sebenarnya punya sifat ingin mengabadikan kekuasaannya.
Rubrik ketiga terjadi di Tarakan, kelompok sangar yang peresah kembali memunculkan sebuah terobosan—yang sesungguhnya telah usang. Sebuah lagu lama yang selalu ingin dipopulerkan. Wis mengatakan bahwa memikirkan hantu secara tekun adalah kemunduran intelektual akut, yang menurutnya akan mengganggu jalannya kemuliaan. Bahkan oleh orang-orang peresah, Wis kini telah dianggap sebagai bagian dari hantu itu sendiri. Siapa pun yang membawa nama Marx akan dipenjara, siapa yang membawa nama Aidit akan dibakar, siapa yang membawa nama-nama orang yang dianggap pemberontak akan dihancurkan. Sebab bagi kelompok peresah, nama-nama itu diyakini membawa kekacauan negara. Tapi, kabarnya Wis sulit dilumpuhkan, terlebih pikiran dan tulisan-tulisannya. Dia punya seribu kesadaran meski dia akan selalu dikambinghitamkan.
Kemarin aku bertemu Wis, dan sempat meminta tanda tangan di bukunya yang baru terbit, yang bercerita tentang ganasnya ibu tiri tak seganas pembantunya ibu pertiwi. Dia bilang padaku sedang menyusun kembali quote-quote-nya yang lama untuk ditata kembali ke dalam album sejarah masa kini, agar para generasi milenial memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan bukan sekadar bayangan suram, selayak hantu yang terus bergentayangan. Usai kami berpisah, dia akan kembali ke rumahnya yang sudah lama dia tinggalkan.
Aku mendengar cerita itu dari seorang “telik sandi” (serapan Jawa: mata-mata) yang telah bertobat, yang katanya belum lama bertemu dengan Wis. Dan kebetulan aku mengenal mantan telik sandi itu. Setelah mendengar seluruh ceritanya, aku merasa lega. Wis akan aman di sana. Pastinya dia bisa duduk manis di beranda sembari mengeja perubahan keadaan dengan kata-katanya. Tapi aku terkejut saat telik sandi itu mengatakan bahwa Wis sebenarnya telah mati. Tapi aku tidak yakin karena dalam ceritanya, telik sandi itu mengatakan bahwa sebelum sampai di rumahnya, Wis berpapasan dengan sekelompok orang ganas.
“Ada apa ini?” Telik sandi itu menirukan pertanyaan Wis kepada sekelompok orang ganas itu.
Tidak ada jawaban, tapi penulis dan sejarawan yang tidak punya rasa takut itu harus berkeringat dingin usai mendengar desing senapan yang ternyata salah satu pelurunya menembus daging pahanya. Cerita telik sandi hanya sampai di situ. Dalam bayanganku cerita itu belum selesai karena Wis yang kutahu adalah Wis yang tak kenal menyerah. Mungkin saat itu dengan terpincang dia berusaha menyelamatkan diri karena di dalam dirinya telah bersemayam tekad: mewujudkan cita-citanya sebagai duta penjelas masa lalu melalui tulisan-tulisannya. Bahwa masa lalu bukan momok yang memuakkan, tapi justru menjadi kekasih yang bisa menyempurnakan wajah negara.[]