• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sabtu, 13 September 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Penjelas Masa Lalu

Yuditeha by Yuditeha
10 Januari 2021
in Cerpen
0
Gambar Artikel Penjelas Masa Lalu

Detail dari lukisan Pedro Berruguete berjudul "Acto de Fe presidido por Santo Domingo de Guzmán" (1495)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Rumor ganas kembali muncul, dan berita itu hadir di sebuah rubrik dalam bentuk ulasan peristiwa pembakaran buku yang terjadi pada hari Rabu, tanggal 26 Desember 2018 di sebuah desa di Jawa Timur. Anehnya abu dari pembakaran itu menguar wangi ke sekujur tubuh Indonesia.

Karena ulasan yang matang harus meyakinkan dari segi faktual, maka sejumlah pihak melakukan pengusutan untuk mendapat rekaman peristiwanya secara utuh. Dari beberapa pengamatan itu, jadilah sebuah film kehidupan yang memuat kisah tentang sekelompok orang sangar, berkumis lebat, dan berseragam. Mereka golongan peresah yang keadaan hatinya baru merasa nyaman bila telah menjerumuskan siapa pun yang mereka anggap pengganggu ketertiban umum, lalu melemparkannya ke dalam siksa kawah yang membara. Konon kawah itu dihuni oleh monster api yang seluruh bagian tubuhnya berwarna merah kehitam-hitaman.

Orang yang dilempar ke kawah akan lebur lantas membaur dengan monster itu hingga sepanjang hidupnya akan terbelenggu di sana. Sosok ganas yang sebenarnya tak pernah bisa memahami isi kepalanya sendiri itu menganggap orang-orang yang berhasil keluar dari kawah dapat menjelma siluman laten yang pemikiran dan ucapannya bisa meruntuhkan negara.

Selain faktual, berita yang baik harus punya daya isap. Artinya pesan dalam kalimat-kalimatnya punya kemampuan menyedot minat dari hati yang paling dalam. Mungkin karenanya, agar meyakinkan, berita itu disajikan dengan bantuan serangkum  footnote yang bisa menerangkan bahwa sosok berseragam itu mampu bertugas menjaga negara, tapi yang terlihat justru seperti boneka. Bedanya, wajah mereka tidak cantik selayaknya boneka India, tapi perihal lucunya bisa melebihi jenakanya tingkah laku polisi di film-film India.

Ketika rubrik kedua muncul, orang-orang justru menganggap kejadian itu mengandung muatan humor. Kelucuan yang dilakukan sosok berkumis lebat itu membuat kebanyakan orang terpingkal. Beberapa sosok yang lucu itu datang di acara seminar para penulis dan sejarawan, tapi mereka lupa membawa otaknya.

Peristiwa itu terjadi pada hari Selasa, tanggal 1 Agustus 2019 di sebuah tempat yang kabarnya sebagai pemutus citra kota yang belum pernah jatuh ke dalam masa kegelapan. Aku masih ingat peristiwa itu terjadi ketika negara ini sedang marak-maraknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan kaum lelaki terhadap perempuan-perempuan alim yang sebenarnya telah digadang menjadi tokoh emansipasi, namun akhirnya luruh karena keberadaannya selalu disalahmengerti. Menjadi korban tapi justru disalahkan. Ironisnya, orang-orang sangar berseragam yang seharusnya menjadi pendamping bagi korban justru lebih suka nonton youtube sembari klekaran di selasar depan penjara.

Peristiwa selanjutnya semakin aneh, karena pada saat orang-orang sangar berseragam sedang mengkhusyuki berita-berita sensasional, seketika seperti menjelma sekelompok orang peresah. Mereka seperti mendadak muncul dan tak bosan-bosannya menjebak dan menangkapi orang yang mereka anggap sebagai tokoh pengganggu ketertiban umum. Pada saat mereka berhasil menangkap orang yang diyakini berseberangan dengan negara, tibalah sesi berfoto bersama yang hasilnya diunggah dalam berita nasional, di mana efek dari foto itu akan menciutkan nyali para bocah yang sebenarnya telah punya cita-cita ingin mencerahkan jalan-jalan yang masih gelap karena kungkungan doktrin yang salah kaprah.

Tersebutlah Wis, penulis dan sejarawan yang kini sedang dalam incaran kelompok peresah itu. Entah namanya mujur atau celaka, sejak dia menjadi incaran, bicaranya menjadi quote yang punya kekuatan menumbangkan para pejabat dari segi mental. Raga Wis boleh tertangkap dan dihajar habis-habisan, tetapi kata-katanya dan tulisannya tak pernah mampu diredam. Hal itu semakin membuat berang kelompok peresah. Sedikit pun mereka tak ingin memberi keleluasaan hidup bagi orang yang punya bakat seperti Wis. Tapi Wis tak kenal takut, dari dia quote-quote baru selalu tercipta.

Dan quote yang tengah hangat berbicara mengenai libricide: sebuah tema besar tentang pemusnahan masif terhadap buku-buku. Quote Wis membahas beberapa ilmu yang saling bersinergi dalam rangka penghancuran buku yang sistematis, terlebih buku-buku gerakan ideologis yang ditunggangi sebuah rezim. Bahkan dia juga membawa suara dari Rebecca Knuth tentang pemberangusan generasi dengan menghapus kebudayaan demi kepentingan politik yang diam-diam sebenarnya punya sifat ingin mengabadikan kekuasaannya.

Rubrik ketiga terjadi di Tarakan, kelompok sangar yang peresah kembali memunculkan sebuah terobosan—yang sesungguhnya telah usang. Sebuah lagu lama yang selalu ingin dipopulerkan. Wis mengatakan bahwa memikirkan hantu secara tekun adalah kemunduran intelektual akut, yang menurutnya akan mengganggu jalannya kemuliaan. Bahkan oleh orang-orang peresah, Wis kini telah dianggap sebagai bagian dari hantu itu sendiri. Siapa pun yang membawa nama Marx akan dipenjara, siapa yang membawa nama Aidit akan dibakar, siapa yang membawa nama-nama orang yang dianggap pemberontak akan dihancurkan. Sebab bagi kelompok peresah, nama-nama itu diyakini membawa kekacauan negara. Tapi, kabarnya Wis sulit dilumpuhkan, terlebih pikiran dan tulisan-tulisannya. Dia punya seribu kesadaran meski dia akan selalu dikambinghitamkan.

Kemarin aku bertemu Wis, dan sempat meminta tanda tangan di bukunya yang baru terbit, yang bercerita tentang ganasnya ibu tiri tak seganas pembantunya ibu pertiwi. Dia bilang padaku sedang menyusun kembali quote-quote-nya yang lama untuk ditata kembali ke dalam album sejarah masa kini, agar para generasi milenial memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan bukan sekadar bayangan suram, selayak hantu yang terus bergentayangan. Usai kami berpisah, dia akan kembali ke rumahnya yang sudah lama dia tinggalkan.

Aku mendengar cerita itu dari seorang “telik sandi” (serapan Jawa: mata-mata) yang telah bertobat, yang katanya belum lama bertemu dengan Wis. Dan kebetulan aku mengenal mantan telik sandi itu. Setelah mendengar seluruh ceritanya, aku merasa lega. Wis akan aman di sana. Pastinya dia bisa duduk manis di beranda sembari mengeja perubahan keadaan dengan kata-katanya. Tapi aku terkejut saat telik sandi itu mengatakan bahwa Wis sebenarnya telah mati. Tapi aku tidak yakin karena dalam ceritanya, telik sandi itu mengatakan bahwa sebelum sampai di rumahnya, Wis berpapasan dengan sekelompok orang ganas.

“Ada apa ini?” Telik sandi itu menirukan pertanyaan Wis kepada sekelompok orang ganas itu.

Tidak ada jawaban, tapi penulis dan sejarawan yang tidak punya rasa takut itu harus berkeringat dingin usai mendengar desing senapan yang ternyata salah satu pelurunya menembus daging pahanya. Cerita telik sandi hanya sampai di situ. Dalam bayanganku cerita itu belum selesai karena Wis yang kutahu adalah Wis yang tak kenal menyerah. Mungkin saat itu dengan terpincang dia berusaha menyelamatkan diri karena di dalam dirinya telah bersemayam tekad: mewujudkan cita-citanya sebagai duta penjelas masa lalu melalui tulisan-tulisannya. Bahwa masa lalu bukan momok yang memuakkan, tapi justru menjadi kekasih yang bisa menyempurnakan wajah negara.[]

Tags: bibliocidecerpenlibricidemisteripemusnahan bukupenjelas masa lalusastrasejarah
ShareTweetSendShare
Previous Post

Wahdatul Wujud: Sebuah Dialog Singkat Islam-Kristen

Next Post

Tindak Korupsi di Mata Ahmad Hassan

Yuditeha

Yuditeha

Pegiat Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 16 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Kumcer, Marjin Kiri, 2020). Cerpennya berjudul Biografi Luka menjadi salah satu cerpen terbaik pilihan Kompas, 2023. IG: @yuditeha2.

Artikel Terkait

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 Juli 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 Mei 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Cerpen

Calon Kepala Desa

5 Maret 2024

Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

1 Desember 2020
Gambar Artikel Surat Cinta Awal Tahunku

Surat Cinta Awal Tahunku

5 Januari 2021
Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta

Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta

24 Mei 2024
Nyala Lilin dan Puisi Lainnya

Nyala Lilin dan Puisi Lainnya

14 Maret 2022
Kidung Rindu

Kidung Rindu

11 Juni 2021
Gambar Artikel Pendidikan Virtual : Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

Pendidikan Virtual: Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

20 November 2020
Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

11 Oktober 2021
Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

16 Februari 2022
Tiada yang Bakal Dirindu

Tiada yang Bakal Dirindu

28 Januari 2022
Jenis-Jenis Garangan Paling Berbahaya bagi Kaum LDR

Jenis-Jenis Garangan Paling Berbahaya bagi Kaum LDR

9 Januari 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (214)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (141)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (71)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.